Kamis, 10 Januari 2013

Bernegara Tanpa Tujuan?



karikatur-3
Bangsa kita seperti dilanda “galau” luar biasa. Di berbagai forum diskusi, juga kesimpulan survei-survei, muncul kebingungan tentang apa tujuan kita berbangsa dan bernegara. Ada yang menyebut Indonesia sebagai “negara tanpa tujuan”.
Benarkah demikian? Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, gambaran tentang Indonesia masa depan sudah menyelinap dalam gagasan-gagasan para aktivis pergerakan nasional: Menuju Republik Indonesia (Tan Malaka), Ke Arah Indonesia Merdeka (Mohammad Hatta), dan Mencapai Indonesia Merdeka (Soekarno).
Gagasan itu makin mengkristal menjelang proklamasi kemerdekaan. Pada 1 Juni 1945, Soekarno telah menyampaikan pidato penting tentang pijakan ideologis bangsa Indonesia dalam rangka mencapai cita-citanya. Pidato itu menandai lahirnya ideologi nasional bangsa Indonesia, Pancasila. Soekarno menyebut Pancasila sebagai philosofische Grondslag, yaitu sebuah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa-hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal-abadi.
Lalu, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, yakni 18 Agustus 1945, bangsa Indonesia sudah menyusun konstitusinya: UUD 1945. Di dalam UUD 1945, khususnya pembukaan, batang-tubuh dan penjelasan, tercetus penentangan terhadap segala bentuk imperialisme dan neo-kolonialisme. Pembukaan UUD 1945 membentangkan secara gamblang tujuan atau cita-cita nasional bangsa Indonesia.
Pendek kata, cita-cita atau tujuan nasional kita itu sudah terumuskan dengan sangat baik oleh para pejuang pembebasan nasional. Ketika Indonesia benar-benar dibentuk sebagai negara merdeka, cita-cita dan tujuan nasional itu terumuskan dengan tegas di dalam Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, menjadi aneh jikalau bangsa kita masih galau menatap masa depan.
Sayangnya, sejak rezim orde baru hingga sekarang, proses penyelenggaraan negara tidak berpijak kepada Pancasila UUD 1945. Rezim orde baru berusaha memasung Pancasila dan UUD 1945. Di mata rezim orba, Pancasila dan UUD 1945 hanya merupakan seperangkat “dokumen” yang efektif untuk menjerat perjuangan mempertahankan hak-hak rakyat dan demokrasi.
Seusai reformasi, begundal-begundal yang mengenakan ‘baju kaum reformis’ berupaya melenyapkan Pancasila dan UUD 1945. Mereka mendorong agar UUD 1945 diamandemen. Hasilnya: roh anti-kolonialisme dan anti-imperialisme di dalam UUD 1945 dihilangkan. Dengan begitu, mereka sangat gampang menggelontorkan puluhan produk perundang-undangan yang berbau neoliberal. Orang sering menyebutnya sebagai “legalisasi neokolonialisme”.
Pertama, lahirnya puluhan UU yang melegalkan kembali praktek neokolonialisme di Indonesia. Sebut saja: UU nomor 22 tahun 2011 tentang migas, UU nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara, UU nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal asing, UU nomor 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, UU No.18/2004 tentang Perkebunan, UU No.19/2004 tentang Kehutanan, RUU pengadaan tanah, dan lain-lain.
Kedua, praktek desentralisasi ala neoliberal yang tujuannya untuk melemahkan negara bangsa dan memfasilitasi penetrasi neokolonialisme hingga kota/kabupaten. Pada gilirannya, proyek ini mempermudah kapital asing menguasai secara penuh aset dan kekayaan alam kita.
Ketiga, proses penyelenggaraan negara dibuat seolah tanpa tujuan dan tanpa konsepsi. Akibatnya, negara seakan takluk dibawah rezim politik yang rela berkolaborasi atau menjadi kaki-tangan kapital asing. Tujuan negara pun berubah: dari mengorganisasikan masyarakat adil dan makmur menjadi pelayan kepentingan kapital asing dan menjadi kuli diantara bangsa-bangsa.
Situasi ini tidak boleh dibiarkan berlangsung lama. Bangsa Indonesia harus kembali kepada relnya menuju masyarakat adil dan makmur. Karena itu, dalam kepentingan jangka panjang, sudah saatnya bangsa Indonesia kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. Singkat kata, karena Pancasila dan UUD 1945 juga anak kandung revolusi agustus, revolusi nasional-nya bangsa Indonesia, maka Pancasila dan UUD 1945 adalah milik dan pegangan hidup seluruh bangsa Indonesia.

LMND DIY Anggap Pancasila Banyak Diselewengkan


Peringatan Hari Lahirnya Pancasila - Puluhan anggota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Kota Yogyakarta memperingati Hari Lahirnya Pancasila dengan menggelar aksi massa, siang tadi (01/6).

Aksi massa ini dimulai pukul 09.00 WIB di Jalan Abu Bakar Ali, lalu massa bergerak menuju perempatan besar Yogyakarta. Dalam aksinya, aktivis LMND menyampaikan orasi politik secara bergantian.
Salah seorang orator menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila mulai meluntur saat ini, terutama di kalangan pejabat dan apparatus negara. “Pemerintah telah mengabaikan esensi Pancasila sebagai nilai luhur dan dasar negara,” katanya.
Setelah menggelar aksinya di titik nol, aktivis LMND melanjutkan aksinya ke kantor DPRD dan gedung pemerintahan provinsi DIY. Di kantor DPRD, massa LMND sempat ditemui oleh salah seorang anggota DPRD. Namun, ketika menggelar aksinya di kantor pemerintah Provinsi DIY, tak satupun pejabat yang datang menemui massa.
Koordinator aksi ini, Edi Susilo, menyatakan bahwa Pancasila telah banyak diselewengkan sejak rejim orde baru hingga sekarang ini. “Bayangkan, pada masa orde baru, rakyat yang menentang penggusuran dianggap anti-pancasila. Padahal, yang menggusur rakyat-lah yang sebenarnya anti-pancasila,” kata Edi Susilo.
Sekarang ini, tambah Edi Susilo, SBY selalu mengaku sebagai pancasilais, tetapi praktek kebijakan ekonomi, politik, dan sosial-budayanya sangat bertentangan dengan lima prinsip dalam Pancasila.
“Bagaimana mungkin SBY disebut Pancasilais, jika presiden neoliberal ini lebih mementingkan liberalisme pasar ketimbang ekonomi rakyat,” katanya.
Edi juga menggaris-bawahi bahwa pelaksanaan pemerintahan di bawah SBY-Budiono sudah melenceng dari cita-cita nasional bangsa Indonesia dan juga bertentangan dengan lima prinsip dalam Pancasila.

Pancasila Masih Sebatas Frasemologi Politik


Pancasila-anak SD
Praktek penyelenggaraan negara semakin menjauh dari Pancasila. Akibatnya, cita-cita masyarakat adil dan makmur pun makin menjauh.
“Pancasila hanya ditempatkan sebagai frasemologi politik dan tidak menjiwai praktek penyelenggaraan negara kita,” kata sekretaris Fraksi PDI Perjuangan MPR, Achmad Basarah, saat diskusi bertajuk “Reaktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Penyelenggaraan Berbangsa Dan Bernegara” di Galeri Cafe, Jakarta, Kamis (31/5/2012).
Hal tersebut, ungkap Achmad, terlihat pada fakta-fakta yuridis berupa produk perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila. Katanya, mayoritas pejabat negara kehilangan pedoman untuk memahami tafsir Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Menurut politisi PDI Perjuangan ini, pengakuan terhadap Pancasila mestinya bukan pada sifat-sifat formalnya, melainkan bentuk materil dan substansinya. “Kita harus menyelami isi pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 itu,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reform Institut Yudi Latief menyoroti penyelewengan Pancasila semasa rezim otoriatian orde baru.
Menurutnya, salah satu warisan terburuk rezim otoritarian orde baru adalah ketidaksanggupan warga bangsa menghargai warisan-warisan terbaik dari masa lalu bangsa kita.
“Sampai-sampai pendidikan nasional kita tidak berani mencantumkan Pancasila sebagai mata pelajaran,” kata Yudi Latief.
Saat ini, ungkap Yudi Latief, Pancasila dan UUD 1945 sedang digempur habis-habisan oleh neokolonialisme. Sayangnya, rejim demokrasi palsu sekarang ini justru membuat sisi terang dari masa depan kita makin tak nampak.

Menggali Pancasila

garuda-1
66 tahun yang lalu, hanya dua bulan sebelum kelahiran Republik baru bernama Indonesia, Bung Karno membacakan pidato bersejarah di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pidato itulah yang kemudian dikenang sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pada saat itu, Bung Karno berbicara tentang Pancasila sebagai philosofische Grondslag, yaitu sebuah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa-hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal-abadi.
Di situ, dengan terang sekali, dikatakan bahwa ada lima prinsip yang mendasari Indonesia merdeka, nantinya, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lima prinsip inilah yang ditetapkan Bung Karno sebagai azas atau dasar mendirikan negara Indonesia merdeka.
Lalu, pada tahun lalu, ketika pemerintah memperingati Hari Lahirnya Pancasila di gedung MPR/DPR/DPD RI, Presiden SBY juga menyampaikan pidato tentang Pancasila ini. Dalam pidato itu, SBY berusaha menyimpulkan Pancasila sebagai living ideology, sebagai working ideology, yang antisipatif, yang adaptif, dan yang responsif.
Dari situ, Kita seolah-olah menemukan keinginan kuat Presiden SBY untuk menempatkan pancasila pada konteks jamannya, yaitu sebuah dasar atau azas bernegara yang turut menyesuaikan diri sesuai perubahan jaman. Pendek kata, bagi SBY, Pancasila adalah ideologi yang eklektis dan fleksibel; pancasila akan menyesuaikan diri dengan lingkungan zaman.
Jadi, kalau mengacu kepada pendapatnya SBY, jika lingkungan jamannya adalah neoliberalisme, maka Pancasila juga akan menjadi berkecendenrungan neoliberal; kalau dunia sedang dikuasai oleh ideologi yang mengutamakan profit semata, maka pancasila pun harus menyesuaikan diri dengan hal semacam itu.
Pendek kata lagi, SBY sederhananya mau bilang begini: Saya ini seorang neoliberalis, pengikut setia pada privatisasi dan perdagangan bebas. Ini saya lakukan karena kecenderungan rejim ekonomi global juga begitu. Tapi, saya tetap seorang Pancasilais.
Lima azas atau prinsip dalam pancasila, jika ditelaah dengan seksama dan sebenar-benarnya, maka kesemuanya akan menentang atau bertentangan dengan neoliberalisme. Jika pancasila menomor-satukan kebangsaan Indonesia, maka neoliberalisme hendak membunuh perasaan kebangsaan itu dimana saja; jika pancasila berdasarkan kemanusiaan dan internasionalisme, maka neoliberalisme adalah pemujaan pada logika profit dan ketidaksetaraan global; jika pancasila mengutamakan mufakat dan demokrasi, maka neoliberalisme mengutamakan demokrasi liberal atau demokrasi bagi para pemilik uang; jika Pancasila berdasarkan pada kesejahteraan sosial, maka neoliberalisme adalah kemakmuran bagi segelintir orang di satu sisi dan pemiskinan mayoritas rakyat pada sisi lain.
Sejak orde baru berkuasa hingga sekarang ini, Pancasila telah dibuat sebagai ideologi pajangan saja, tetapi praktek dan pengamalannya tidak pernah terjadi. Di masa orde baru, Pancasila telah direduksi sedemikian rupa dan kemudian menjadi sekian butir-butir sifat yang harus dihafal di sekolah-sekolah. Sekarang ini, pendidikan Pancasila sudah menghilang sebagai mata pelajaran tersendiri dan disub-kan dengan mata pelajaran lain. Kalaupun Pancasila masih diangggap ada, maka itu tidak lebih dari sebatas sebuah burung garuda yang masih bertengger di dinding-dinding kantor pemerintahan.
Dulu, Ignas Kleden, seorang intelektual Indnesia terkemuka, pernah mengatakan bahwa ada dua hal yang hingga saat ini masih mempersatukan Indonesia sebagai bangsa dan negara, yaitu: Pancasila dan Bahasa Indonesia.
Ignas Kleden ada benarnya. Terlepas dari begitu banyaknya pendistorsian terhadap Pancasila itu sendiri, tetapi pancasila tetap menjadi perisai paling ampuh bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara kesatuan dari niat-niat mendirikan negara agama, konflik etnis, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, Pancasila bukan sekedar untuk menjaga persatuan, tetapi—sebagaimana dikatakan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945—sebagai “Weltanschauung”-nya Indonesia merdeka. Jadi, lima prinsip atau azas itulah yang akan menjadi dasar atau azas bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasionalnya: Menghapuskan penindasan manusia atas manusia (exploitation de I’Homme par I’Homme) dan penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation).

Pelemahan Pancasila

garuda-1
Pada tanggal 30 September 1965, sebuah gerakan di dalam tubuh Angkatan Darat melakukan penculikan dan penyingkiran terhadap perwira-perwira yang dianggap berhianat alias kontra-revolusi. Dewan Jenderal, nama komplotan para perwira itu, diduga akan melancarkan kudeta terhadap Bung Karno.
Akan tetapi, esoknya, 1 Oktober 1965, sebuah gerakan lain di tubuh angkatan darat mencoba mematahkan gerakan kontra-kudeta tersebut, dan kemudian berusaha tampil sebagai penyelamat negara. Gerakan ini, dengan Soeharto dan Nasution sebagai aktor utamanya, segera melemparkan tuduhan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang dari upaya kudeta saat itu.
Yang aneh adalah, bahwa gerakan Soeharto menyebut gerakannya sebagai upaya penyelamatan terhadap Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. 1 Oktober pun diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Ini sangat aneh, dan tentu saja menggelikan, bahwa Soeharto menyebut gerakannya untuk menggulingkan Bung Karno, sang penggali Pantjasila, sebagai upaya menyelamatkan Pancasila. Benarkah Bung Karno hendak merusak Pancasila?
Pancasila secara resmi lahir dari pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dua bulan menjelang proklamasi kemerdekaan. Saat itu, Bung Karno mengajukan lima prinsip yang akan menjadi “weltanschauung” bangsa kepada sidang BPUPKI, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Boleh dikatakan, Bung Karno adalah orang yang paling getol menganjurkan bangsa Indonesia memperdalam dan memperkuat pemahaman tentang Pancasila. Dalam berbagai pidatonya, ia menyebut Pancasila sebagai penemuan bangsa Indonesia dan sekaligus alternatif terhadap pertarungan dua gagasan besar dunia: “declaration of independence”-nya Thomas Jefferson dan “Manifesto Komunis-nya” Karl Marx dan Engels.
Dari penggalian Bung Karno, Pancasila menjadi ideologi nasional yang dapat mempersatukan sebuah bangsa yang meliputi tiga ratusan etnik,  tidak kurang dari 200 bahasa, dan penduduknya memeluk banyak agama dan aliran kepercayaan.
Lalu, karena tujuan mendirikan negara Republik Indonesia untuk semua golongan, maka Pancasila pun berlaku untuk semua golongan. Juga karena negara yang dicita-citakan adalah negara yang adil dan makmur, maka Pancasila pun mengandung prinsip-prinsip yang memperjuangkan bukan saja politieke democratie (demokrasi politik) saja, tetapi juga memperjuangkan socialie rechtvaardigheid (keadilan sosial).
Maka, pancasila di tangan Bung Karno adalah kiri. Kiri disini diartikan sebagai kelompok politik atau aliran yang memperjuangkan kesetaraan sosial. Noberto Bobbio, seorang filsuf politik Italia, merujuk “politik kiri” sebagai komitmen terhadap kesetaraan atau persamaan (politik dan ekonomi).
Dalam menjalankan perjuangan menuju Indonesia adil dan makmur, Bung Karno merangkum semua golongan, khususnya melalui persatuan tiga kekuatan besar-Nasakom: Nasionalis, Agamais, dan Komunis.
Lalu, apa yang dimaksud “kesaktian Pancasila” oleh Soeharto?
Tanggal 1 oktober 1965 merupakan momen penting, setidaknya awal dari sebuah skenario, untuk menggulingkan pemerintahan Bung Karno dan, terutama, proyek politik yang dibangun Bung Karno: Revolusi Indonesia.
Penggunaan kata “kesaktian Pancasila” adalah tipuan belaka, supaya Soeharto tidak mendapat penentangan luas dari masyarakat karena menggusur Bung Karno. Penggunaan kata itu juga sama dengan sebutan “pahlawan revolusi”. Dapatkah kata “pahlawan revolusi” disemakkan kepada para perwira yang notabene berpolitik menentang revolusi Indonesia itu sendiri.
Kami fikir hal itu umum dipergunakan dalam kudeta-kudeta manapun yang tidak mendapat sokongan dari rakyat. Biasanya, dalam kasus-kasus semacam itu, para pelaku kudeta berpura-pura mempertahankan negara, menyelamatkan pemimpin revolusi, tetapi secara intensif melumpuhkan kekuatan-kekuatan pendukung revolusi.
Dalam hal ini, jelas sekali bahwa sebelum melumpuhkan Bung Karno, Soeharto melumpuhkan pendukung loyalnya, yaitu kaum kiri, yang juga menjadi tenaga penting dalam proyek “revolusi Indonesia” –nya.
Oleh karena itu, pancasila di bawah Soeharto adalah pancasila yang sudah dilemahkan, sudah dihilangkan makna kiri-nya. Pancasila jaman Soeharto tidak lagi menjadi “weltanschauung” bangsa Indonesia, tetapi sekedar “kata-kata yang dihafalkan setiap hari” tanpa makna. Pancasila di jaman Soeharto sudah kehilangan rohnya yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Dan, bersamaan dengan pelemahan pancasila itu, Soeharto menjalankan proyek “nation and character destruction” selama 32 tahun.
Jadi, peringatan 1 oktober sebagai hari kesaktian pancasila perlu diluruskan.

Pancasila Dan Anti-Imperialisme




proklamasi
Diantara Hari Nasional yang penting di bulan Oktober adalah tanggal 1 Oktober. Kita tahu, 1 Oktober selalu dirayakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Dan peringatan itu sangat berkait dengan keberhasilan Soeharto menggagalkan apa yang disebut “Gerakan Tiga Puluh September (G30S)”.
Kejadian itu sudah berlalu 47 tahun. Di masa orde baru, pengetahuan tentang sejarah peristiwa 1965 itu hanya berasal dari satu sumber: rezim orde baru. Kita pun dipaksa untuk menerima tafsir tunggal atas sejarah itu. Akibatnya, pengetahuan kita tentang Pancasila tak bisa dipisahkan dari kepentingan orde baru.
Sekarang kita memasuki era (yang katanya) demokratisasi. Banyak sudah dokumen-dokumen penting, buku-buku, pengakuan, kesaksian-kesaksian, dan lain-lain yang berusaha mengungkap kejadian itu. Tidak sedikit yang melahirkan sudut pandang berbeda dan objektif. Bagi kami, inilah momentum untuk memulai untuk membaca ulang secara kritis sejarah tersebut.
Pembacaan ulang itu tidak bisa dianggap remeh. Ingat, berkuasanya rezim Orde Baru disertai dengan penyingkiran Bung Karno. Bahkan orde baru mengubur pemikiran-pemikiran besar Bung Karno (De-sukarnoisme). Padahal, kita tahu, Bung Karno adalah penggali Pancasila. Gagasan Pancasila tidak bisa dilepaskan dari pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945. Pidato itulah yang melahirkan lima prinsip dasar: Perikemanusiaan, Perikebangsaan, Demokrasi, Keadilan Sosial, dan kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Ironisnya, lima prinsip dasar itu justru dikubur semasa rezim Orde Baru. Lihatlah, orde baru berkuasa dengan “penjagalan” jutaan rakyat yang dituduh komunis. Juga, tak sedikit nyawa petani, buruh, mahasiswa, dan pejuang demokrasi yang dihilangkan semasa kekuasaan orde baru. Inikah makna “perikemanusiaan” itu?
Pada masa orde baru, proyek ‘nation building’ kita dibekukan. Tidak ada lagi cita-cita ekonomi berdikari. Tak ada lagi politik yang berdaulat. Tidak ada lagi keinginan membangun bangsa yang berkepribadian di bidang budaya. Sebaliknya, orde baru sangat menghamba pada modal asing. Untuk mengamankan kepentingan asing itu, orde baru menggunakan gaya politik otoritarian. Ironisnya, tak sedikit diantara mereka yang memprotes proyek neokolonialisme melalui modal asing itu dianggap anti-Pancasila.
Pada titik itulah kita mempertanyakan makna “Kesaktian Pancasila”. Bagi kami, pancasila merupakan senjata ideologis bangsa Indonesia untuk menentang kolonialisme dan imperialisme. Sebagai filsafat persatuan, Pancasila menjadi alat pemersatu berbagai golongan bangsa Indonesia dari berbagai suku-bangsa, agama, aliran politik, dan lain-lain dalam kerangka menentang kolonialisme dan imperialisme.
Apakah Pancasila di tangan rezim orde baru dipergunakan untuk memerangi kolonialisme dan imperialisme? Tidak sama sekali. Yang terjadi, pancasila dipreteli sedemikian rupa, dengan berbagai manipulasi terhadap substansi pancasila, agar sejalan dengan politik neokolonial orde baru. Pendek kata, Pancasila yang dipropagandakan oleh orde baru adalah Pancasila yang sudah dicabut roh anti-kolonialisme dan anti-imperialismenya.
Lantas, Pancasila apa yang kita rayakan setiap 1 Oktober itu? Ya, itu adalah Pancasila yang sudah dilucuti oleh roh anti-kolonialisme dan anti-imperialisme-nya. Sedangkan Pancasila 1 Juni 1945, yang ajarannya sejalan dengan cita-cita proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sudah dimatikan sejak tanggal 1 Oktober 1965 itu. Orde baru sudah meringkus ideologi Pancasila itu sejak 1 Oktober 1965 itu.
Kita tahu, ajaran pokok Pancasila adalah sosio-nasionalisme (penggabungan azas perikemanusiaan dan perikebangsaan), sosio-demokrasi (penggabungan azas demokrasi dan keadilan sosial), dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Ajaran Sosio-nasionalisme memberi kita kerangka dalam membangun Negara merdeka yang benar-benar bersih dari kolonialisme dan imperialisme. Sedangkan ajaran sosio-demokrasi memberi kita kerangka dalam membangun sistem demokrasi yang bisa mendatangkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi massa-rakyat. Dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa seharusnya menjadi dasar untuk mempersatukan seluruh agama dan keyakinan bangsa Indonesia agar bisa bergotong-royong untuk mewujudkan cita-cita nasional kita: masyarakat adil dan makmur.

Pancasila Sebagai Ideologi Perjuangan Bangsa Indonesia

Pancasila
Di dalam kurungan penjara Banceuy yang gelap dan pengap, fikiran Bung Karno melayang hingga ke masa depan. Ia berusaha memberi landasan filosofis terhadap Republik yang hendak dibangunnya.
“Kami tidak akan mendirikan bangsa kami di atas Deklarasi Independen Amerika Serikat. Pun tidak dengan Manifesto Komunis. Kami tidak mungkin meminjam falsafah hidup orang lain,” kata Soekarno.
Begitu ia dibuang ke Ende, di Pulau Flores, NTT, Bung Karno makin menyelami falsafah yang cocok untuk Indonesia merdeka itu. Di sanalah, di bawah pohon sukun, ia menemukan lima butir mutiara. Itulah lima dasar yang menjadi pembentuk falsafah Pancasila.
Akhir April 1945, Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI) dibentuk pemerintah Jepang. Soekarno menjadi bagian dari kepanitiaan itu. BPUPKI memulai sidang pertamanya tanggal 29 Mei 1945. Tiga hari pertama persidangan diwarnai debat berkepanjangan.
Soekarno, yang sejak lama sudah menjahit mimpi Indonesia merdeka, segera tampil berpidato pada tanggal 1 Juni 1945. Pidatonya berlangsung selama kurang lebih satu jam. Ia berusaha meyakinkan peserta sidang, yang sebagian besar mewakili berbagai kekuatan politik dan utusan daerah, tentang pentingnya Indonesia merdeka.
Soekarno juga mendesakkan pentingnya “philosophische grondslag” (filosofi dasar) untuk Indonesia merdeka. Filosofi dasar inilah yang akan menjadi “Weltanschauung” (pandangan hidup) bangsa Indonesia mencapai cita-citanya. Soekarno pun mengajukan lima dasar filosofis: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme, – atau perikemanusiaan, Mufakat, – atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah Pancasila!
Konteks Pancasila
Pancasila dilahirkan oleh sebuah momen historis, yakni Revolusi Nasional bangsa Indonesia. Tanpa memahami konteks historis ini, niscaya kita akan kebingungan meletakkan Pancasila dan konteks Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sedang bergerak mencapai tujuan.
Dalam konteks inilah, Airlangga Pribadi, seorang pengajar di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, menganggap Pancasila sebagai bagian dari proses interupsi total dari rezim pengetahuan dominan yang menjadi suprastruktur dari basis material imperialisme kolonial.
Menurutnya, Pancasila harus dipahami sebagai “momen kebenaran”, yaitu proses menginterogasi segenap peristiwa-peristiwa yang merangkai kelahiran Pancasila dan sekaligus menegaskan bahwa peristiwa tersebut adalah kelahiran penanda awal dari Pancasila sebagai ideologi dan haluan RI untuk membedakannya dari penanda sebelumnya, yakni era Imperialisme Kolonial.
“Dengan cara itu, kita bisa menolak berbagai tafsir-tafsir tentang Pancasila baik yang diproduksi oleh pendukung kekuatan lama Orde Baru Soeharto maupun penelikungan Pancasila oleh antek-antek neoliberalisme,” katanya.
Berakar dari Bumi Indonesia
Soekarno, seperti juga Lenin dengan Marxisme-nya, Sun Yat Sen dengan San Min Chu I-nya, berusaha menggali sebuah ideologi bangsa yang cocok dengan realitas dan kepribadian bangsa Indonesia.
Ketemulah ia dengan lima prinsip dalam Pancasila itu. Yang jika disederhanakan, sering disebut Tri-Sila, menjadi tiga gagasan besar: Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5), dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Itupun bisa disederhanakan menjadi eka-sila: Gotong Royong!
DN Aidit, yang di era Bung Karno menjabat Wakil Ketua MPRS, menyebut Pancasila sangat objektif dan ilmiah. Sebab, Pancasila bertolak dari kenyataan atau realitas Indonesia. Ini sejalan dengan fikiran bung Karno, juga Bung Hatta, bahwa lima dasar dalam Pancasila sudah hidup dan mentradisi dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu.
Sementara itu, Retor AW Kaligis, seorang doktor sosiologi di Universitas Indonesia, juga mengakui Pancasila sebagai hasil penggalian nilai-nilai Nusantara yang sudah hidup berabad-abad lalu. “Sebelum ajaran sosialisme dari Barat masuk, karakteristik sosialisme sudah ada di sini. Ketika zaman feodal tanah-tanah di Eropa dikavling para baron (tuan tanah), tanah komunal menghidupi rakyat kecil di sini.Pada zaman Majapahit, kepemilikan pertanian yang besar ditolak dengan melindungi hak pakai para petani.  Hak-hak adat atas tanah juga tumbuh di berbagai suku dan kerajaan,” katanya.
“Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia yang tidak pernah menjajah bangsa lain. Itulah perikemanusiaan melekat dalam jiwa bangsa Indonesia,” kata Soekarno.
Demikian pula kedaulatan rakyat atau demokrasi, yang oleh Bung Karno dikatakan “bukan barang baru” bagi bangsa Indonesia. Masyarakat di Minangkabau, seperti dicatat Tan Malaka dalam karya “Aksi Massa”, sudah mempraktekkan mufakat alias demokrasi.
“Pemerintahan oleh adat diserahkan kepada wakil-wakil rakyat para penghulu, yakni datuk-datuk. Mereka mesti memerintah menurut undang-undang tertentu. Kekuasaan tertinggi bernama ‘mufakat’ yang diperoleh dari perundangan dalam satu rapat,” tulis Tan Malaka dalam karya “Aksi Massa”, 1926.
Bangsa Indonesi juga sudah kental dengan cita-cita keadilan sosial. Bung Karno mencontohkan, sejak dulu semboyan “Ratu Adil” sudah ada di kalangan rakyat Indonesia. Juga slogan “Sama Rata, Sama Rasa”.
Pantas saja, Soekarno tidak mau disebut penemu Pancasila, melainkan sebagai “penggali Pancasila”. Sebab, Pancasila itu sudah hadir dalam tradisi dan menjadi harta-karun berharga bangsa Indonesia.
Anti-kolonialisme dan anti-imperialisme
Karena Pancasila lahir dari konteks “masyarakat yang ingin keluar dari belenggu penjajahan”, maka jiwa dan cita-cita Pancasila sangatlah anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Meski demikian, seperti disinggung Bung Karno dalam penutup pidato 1 Juni 1945, indonesia keluar dari alam penjajahan itu punya tujuan yang hendak dicapai: membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan, untuk permufakatan, untuk sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial): untuk Ketuhanan.
Yang jelas, kata Airlangga Pribadi, para pendiri bangsa ingin memperjuangkan sebuah Republik yang lepas dari jeratan tidak saja imperialisme kolonial tetapi juga sistem ekonomi kapitalisme dan politik liberalistik.
Airlangga mencontohkan, di dalam pidato Pancasila tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menekankan bahwa demokrasi yang dicari bukanlah demokrasi barat—yang hanya menghadirkan kebebasan politik semata, melainkan sebuah “politiek economicshe democratie”, yakni sebuah tatanan politik yang mensyaratkan keterlibatan penuh rakyat dalam pengambilan keputusan berbasis musyawarah dan sekaligus mendemokratiskan tatanan ekonomi dari proses penghisapan dan eksploitasi.
DN Aidit, yang di tahun 1960-an partainya makin merapat ke Bung Karno sebagai poros anti-imperialis, berusaha menangkap hal-hal yang melandasi kelahiran dan tujuan Pancasila itu. Materi kuliah Aidit di hadapan kader Front Nasional, “Revolusi Indonesia, Latar Belakang dan Hari Depannya”, menyimpulkan bahwa Pancasila Bung Karno berlandaskan pada lima hal: (1) bagi negara merdeka, artinya anti-kolonialisme; (2) bagi negara kebangsaan, artinya pemersatu seluruh kekuatan nasional; (3) anti terhadap sistem demokrasi borjuis; (4) bercita-cita sosialisme, dan (5) mempersatukan rakyat dengan tidak membeda-bedakan kepercayaan agamanya.
Sebagai dasar negara dan pemersatu
Dalam tulisan menyambut peringatan Lahirnya Pancasila 1 Juni 1964,  “Tjamkan Pantja Sila ! Pancasila dasar falsafah negara”, Soekarno memberi tiga pengertian pokok Pancasila: (1) Pancasila sebagai pemerasan kesatuan jiwa bangsa Indonesia; (2) Pancasila sebagai manifestasi persatuan bangsa dan wilayah Indonesia; (3) Pancasila sebagai “Weltanschauung” bangsa Indonesia dalam penghidupan nasional dan internasional.
Di situ, Soekarno juga sangat jelas mengatakan, “Pancasila sebagai satu-satunya ideologi nasional progressif dalam revolusi Indonesia.” Artinya, dalam kerangka revolusi itu, Pancasila punya dua peran pokok: pertama, sebagai dasar yang mempersatukan bangsa Indonesia; Kedua, sebagai dasar yang memberi arah kepada perikehidupan, termasuk jalannya revolusi Indonesia.
Untuk yang pertama, pancasila merupakan ideologi atau filsafat yang tidak saja mempersatukan berbagai komponen bangsa Indonesia (suku, agama, golongan, dan lain-lain), tetapi juga mempersatukan berbagai aliran dan pemikiran politik dalam kerangka menuntaskan revolusi nasional bangsa Indonesia.
Dengan demikian, seperti ditekankan Soekarno, Pancasila mengakui keberadaan bermacam-macam agama, suku bangsa, filsafat, dan aliran politik dalam kehidupan rakyat Indonesia. Jadi, tidak seperti Orde baru: memaksakan Pancasila sebagai satu-satunya filsafat.
“Yang saya impi-impikan adalah kerukunan pancasilais-manipolis dari segala suku-bangsa, segala agama, segala aliran politik, dan segala kepercayaan,” kata Soekarno (Tavip, hal.42).
Kemudian, yang kedua, yakni pancasila sebagai pemberi arah kepada bangsa Indonesia, dalam segala lapangan kehidupan, dalam rangka mencapai tujuan akhirnya: masyarakat adil dan makmur.
Bagi Soekarno, supaya perjuangan bangsa Indonesia tidak melenceng dari tujuan, maka kehidupan berbangsa harus diberi “pandangan hidup”. Ia harus menjadi leitstar, bintang penuntun arah, bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Ini mirip dengan ungkapan Eva Kusuma Sundari, politisi PDI Perjuangan, bahwa Pancasila itu seperti kompas dalam perjalanan bangsa. “Jika pancasila diabaikan, maka limbunglah perjalanan bangsa kita,” katanya.
Supaya leitstar itu bisa menggerakkan massa, kata Soekarno, maka ia harus betul-betul menyentuh dan menghikmati jiwa. Dengan demikian, pancasila sebagai pandangan hidup harus bermakna “dijiwai” oleh rakyat Indonesia.

Asal-Usul Pancasila


BK-Pancasila
Pohon sukun itu, yang berdiri kokoh di atas bukit, menghadap kelaut. Di situlah, pada tahun 1934 hingga 1938, Soekarno banyak merenung. Beberapa saksi sejarah menuturkan, salah satu hasil perenungan Bung Karno di bawah pohon sukun itu adalah Pancasila.
Pohon sukun itu kemudian diberi nama “pohon Pancasila”. Lalu, lapangan—dulunya bukit—tempat sukun itu berdiri di beri nama “Lapangan Pancasila”. Di Ende, sebuah kota indah di Pulau Flores, Soekarno menjahit ide-ide besarnya mengenai Indonesia masa depan, termasuk ideologi Pancasila.
Akan tetapi, kita belum tahu seberapa besar pengaruh pengalaman Soekarno di Ende dalam perumusan Pancasila. Fakta-fakta soal ini masih sangat minim. Yuke Ardhiati, seorang arsitek yang penelitiannya sempat menyinggung soal ini, mengatakan, pemikiran Soekarno di Ende sudah meliputi semua sila Pancasila. Saat itu, katanya, Soekarno menyebut sebagai Lima Butir Mutiara.
Dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno mengatakan: “Di pulau Bunga yang sepi tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya merenungkan di bawah pohon kayu. Ketika itu datang ilham yang diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang dikenal dengan Pancasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir mutiara yang indah.”
Dengan demikian, banyak yang menyebut Ende sebagai tempat “penyusunan gagasan-gagasan Pancasila”. Setelah itu, seiring dengan proses di Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI), Soekarno makin mematangkan gagasan tersebut.
BPUPKI resmi dibentuk tanggal 29 April 1945. Badan ini, yang beranggotakan 63 orang, memulai sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945. Nah, di sini ada kontroversi: ada yang menyebut Mohammad Yamin menyampaikan pidato tanggal 29 Mei 1945 dan isi pidatonya sama persis dengan Pancasila sekarang ini.
Dalam pidatonya Yamin mengusulkan 5 azas: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke Tuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, banyak orang yang menyebut Muhamad Yamin sebagai penemu Pancasila. BJ Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, secara terang-terangan menyebut Muh Yamin sebagai penemu Pancasila, bukan Bung Karno.
Tesis ini makin diperkuat di jaman Orde Baru. Ini juga dalam kerangka de-soekarnoisme. Nugroho Notosusanto, salah seorang ideolog orde baru, banyak menulis tentang sejarah kelahiran Pancasila dengan mengabaikan sama sekali peranan Soekarno.
Dengan penelitian yang sudah bisa ditebak hasilnya, Nugroho Notosusanto menyimpulkan bahwa penemu Pancasila bukanlah Soekarno, melainkan Mohammad Yamin dan Soepomo. Itu menjadi pegangan dalam buku-buku penataran P4 dan buku-buku sejarah Orde Baru.
Nugroho Notosusanto, seorang yang anti-marxisme, menuding sila kedua Pancasila  versi Bung Karno, yaitu Peri Kemanusiaan/Internationalisme, sangat identik dengan semangat internasionalisme kaum komunis.
Suatu hari, ketika Bung Hatta memberi ceramah di Makassar, seorang mahasiswa mengeritik Bung Hatta karena menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Si mahasiswa itu, entah dicekoki oleh kesimpulan Nugroho Notosusanto, menyebut Mohammad Yamin sebagai penemu Pancasila. Hatta pun bertanya dari mana mahasiswa tahu? Dijawab oleh sang mahasiswa, “Dari buku Yamin”. Hatta segera mengatakan, “Buku itu tak benar!”
Rupanya, menurut versi Bung Hatta, Mohamad Yamin tidak berpidato tentang 5 azas itu pada 29 Mei 1945. Pidato itu, kata Bung Hatta—yang saat itu anggota BPUPKI dan panitia kecil—mengingat Pidato Yamin itu disampaikan di Panitia Kecil.
Menurut Bung Hatta, yang saat itu juga anggota BPUPKI, penemu Pancasila itu adalah Bung Karno. Saat itu, kata Bung Hatta, di kalangan anggota BPUPKI muncul pertanyaan: Negara Indonesia Merdeka” yang kita bangun itu, apa dasarnya? Kebanyakan anggota BPUPKI tidak mau menjawab pertanyaan itu karena takut terjebak dalam perdebatan filosofis berkepanjangan.
Akan tetapi, pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menjawab pertanyaan itu melalui pidato berdurasi 1 jam. Pidato itu mendapat tepuk-tangan riuh dari anggota BPUPKI. Sesudah itu, dibentuklah panitia kecil beranggotakan 9 orang untuk merumuskan Pancasila sesuai pidato Soekarno. Panitia kecil itu menunjuk 9 orang: Soekarno, Hatta, Yamin, Soebardjo, Maramis, Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Abdul Kahar Muzakkir.
Panitia kecil inilah yang mengubah susunan lima sila itu dan meletakkan Ketuhanan Yang Maha Esa di bagian pertama. Pada tanggal 22 Juni 1945 pembaruan rumusan Panitia 9 itu diserahkan kepada Panitia Penyelidik Usaha–Usaha Kemerdekaan Indonesia dan diberi nama “Piagam Jakarta”.
Pada 18 Agustus 1945, saat penyusunan Undang-Undang Dasar, Piagam Jakarta itu mengalami sedikit perubahan: pencoretan 7 kata di belakang Ketuhanan, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat islam kepada penduduknya.” Begitulah, Pancasila masuk dalam pembukaan UUD 1945.
Apa yang dikatakan Bung Hatta mirip dengan penuturan Bung Karno. Dalam Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, Bung Karno mengatakan, selama tiga hari sidang pertama terjadi perbedaan pendapat. Artinya, jika sidang dimulai tanggal 29 Mei 1945, maka hingga tanggal 31 Mei belum ada kesepakatan.
Terkait tanggal 29 Mei itu, seorang pakar UI, Ananda B Kusuma, menemukan Pringgodigdo Archief. Dokumen ini cukup penting, sebab memuat catatan-catatan tentang sidang itu. Menurut dokumen itu, orang-orang yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945 itu: MRM. Yamin (20 menit), Tn. Soemitro (5 menit), Tn. Margono (20 menit), Tn. Sanusi (45 menit), Tn. Sosro diningrat (5 menit), Tn. Wiranatakusumah (15 menit).
Sidang itu diberi alokasi waktu 130 menit. Akan tetapi, yang cukup aneh, Yamin disebut berpidato 120 menit. Padahal, saat itu ada lima pembicara lain yang juga harus menyampaikan pidatonya.
G. Moedjanto, seorang sejarahwan, juga menemukan kejanggalan pada pidato Yamin—yang disebut tanggal 29 Mei 1945 itu. Pada alinea terakhir berbunyi: “Dua hari yang lampau tuan Ketua memberi kesempatan kepada kita sekalian juga boleh mengeluarkan perasaan”. “Dua hari yang lampau” itu berarti tanggal 27 Mei 1945, sedangkan sidang baru dibuka pada tanggal 29 Mei 1945. Artinya, seperti dikatakan Bung Hatta, pidato Yamin itu memang disampaikan di Panitia Kecil—pasca Soekarno menyampaikan pidato tanggal 1 Juni 1945.
Mohammad Yamin sendiri mengakui Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Itu dapat dilihat di pidato Yamin pada 5 Januari 1958 : “Untuk penjelasan ingatlah beberapa tanggapan sebagai pegangan sejarah: 1 Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila…, tanggal 22 Juni 1945 segala ajaran itu dirumuskan di dalam satu naskah politik yang bernama Piagam Jakarta … dan pada tanggal 18 Agustus 1945 disiarkanlah Konstitusi Republik Indonesia, sehari sesudah permakluman kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam konstitusi itu pada bagian pembukaan atau Mukadimahnya dituliskan hitam di atas putih dengan resmi ajaran filsafat pancasila.”
Roeslan Abdulgani, yang sempat menjadi Menteri Penerangan di era Bung Karno, juga menyebut Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Dua pemikiran besar di dalam pancasila, yaitu Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5), sudah ‘digarap’ oleh Bung Karno sejak tahun 1920-an. Dalam konteks ini, Hatta juga punya peranan ketika menaburkan ide-ide tentang demokrasi kerakyatan.
Dari mana datangnya istilah Pancasila itu? Dalam buku “Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia (Civic)” dikatakan, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sangsekerta: Panca berarti lima, sedangkan sila berarti dasar kesusilaan.
Sebagai kata majemuk, kata “PancaÒ«ila” sudah dikenal dalam agama Budha. Bila diartikan secara negatif, ia berarti lima pantangan: (1) larangan membinasakan makhluk hidup, (2) larangan mencuri, (3) larangan berzinah, (4) larangan menipu, dan (5) larangan minum miras.
Dalam karangan Mpu Prapantja, Negarakretagama, kata “PancaÒ«ila” juga ditemukan di buku (sarga) ke-53 bait kedua: “Yatnanggegwani PancaÒ«ila Krtasangskarabhisekakrama (Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan itu, begitu pula upacara ibadat dan penobatan).
Akan tetapi, jika diperhatikan dengan seksama, tidak ada keterkaitan antara PancaÒ«ila dalam Budha dan Negarakretagama dengan Pancasila yang menjadi dasar atau ideologi bangsa kita itu.
Bung Karno, dalam kursus Pancasila di Istana Negara, 5 Juni 1958, membantah pendapat bahwa “Pancasila (dasar negara kita) adalah perasan dari Buddhisme. Katanya, Pancasila itu tidak pernah congruent dengan agama tertentu, tetapi juga tidak pernah bertentangan dengan agama tertentu.
Soekarno sendiri menolak disebut sebagai “penemu Pancasila”. Baginya, lima mutiara dalam Pancasila itu sudah ada dan hidup di bumi dan tradisi historis bangsa Indonesia. Soekarno hanya menggalinya setelah sekian lama tercampakkan oleh kolonialisme dan penetrasi kebudayaan asing. (Kusno)

Gaya Hidup Pejabat Negara




karikatur (Indopos)
Anda tahu harga jam tangan Ruhut Sitompul? Katanya, politisi partai Demokrat ini menggunakan jam tangan berharga Rp 450 juta. Sedangkan Anis Matta, yang juga salah satu pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengenakan jam tangan seharga Rp 70 juta.
Itu baru harga jam tangan. Coba tengok harga mobil para pejabat negara itu. Konon, ada tiga anggota DPR yang punya mobil seharga Rp 7 milyar. Sementara harga mobil rata-rata pejabat menteri berkisar antara Rp 400 juta hingga 1,325 miliar. Bagaimana dengan harga rumah dan kekayaan lainnya?
Nah, bagaimana dengan gaji Presiden? Berdasarkan peringkat gaji presiden tertinggi di dunia, gaji Presiden SBY menempati peringkat ke-16. Ia berada di atas peringkat gaji Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang memimpin negeri yang jauh lebih maju dan lebih makmur dibanding Indonesia.
Gaji Presiden SBY mencapai US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun. Gaji itu setara dengan 28 kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia. Bahkan, jika dikaitkan dengan PDB per-kapita masing-masing negara, gaji Presiden SBY tercatat di peringkat ketiga di dunia. Gaji Pesiden SBY mencapai 28 kali PDB per-kapita.
Lebih tragis lagi, menurut Anis Matta, dirinya membeli arloji seharga Rp70 juta sebagai aksesoris untuk ‘memantaskan’ dirinya sebagai pejabat publik. Artinya, di mata Anis Matta, standar seorang pejabat publik harus punya, diantaranya, jam tangan paling murah Rp70 juta.
Apakah harus begitu? Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, mengatakan, seorang pemimpin haruslah mengambil beban yang lebih berat; ia harus tahan sakit dan tahan terhadap cobaan; ia juga tidak boleh berubah hanya karena kesusahan hidup. “Keteguhan hati dan keteguhan iman adalah conditio sine qua non (syarat yang utama) untuk menjadi pemimpin,” kata Bung Hatta.
Dengan demikian, di mata Hatta, seorang pejabat negara atau pemimpin tidak boleh punya gaya hidup mewah. Sebab, gaya hidup mewah akan menuntut biaya hidup yang tiggi pula. Tentunya, hal itu akan memaksa si pejabat akan menggunakan segala macam cara untuk membiayai gaya-hidupnya itu.
Hatta sendiri adalah seorang sosok pemimpin sederhana. Ia melamar istrinya dengan sebuah mas kawin berupa buku karyanya sendiri. Ia juga harus menabung bertahun-tahun untuk memenuhi keinginannnya membeli sepatu. Konon, Hatta pernah negosiasi panjang dengan kusir bendi soal tariff. Akan tetapi, karena tidak terjadi titik temu, Hatta pun memilih jalan kaki.
Bung Karno juga begitu. Semasa hidupnya, sebagaian besar pakaian kebanggaan Bung Karno dijahit dan dipermak sendiri. Salah satu seragam kebesaran Bung Karno adalah pakaian bekas militer wanita Australia.
Orang bisa mengatakan jaman sudah berubah. Apakah bisa begitu? Tidak juga. Buktinya, Fidel Castro, Presiden Kuba, hanya menerima gaji sebesar 900 peso atau kira-kira 36$ per bulan. Atau, mari kita dengar cerita tentang Ahmadinejad. Konon, Presiden paling dibenci oleh AS ini tidak menerima gajinya. Ketika ia pertama kali menempati jabatan Presiden, ia memerintahkan menggulung karpet antik peninggalan Persia untuk dimuseumkan. Ia juga menolak kursi VIP di pesawat kepresidenan. Bahkan ia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana.
Kenapa bisa berbeda begitu? Ini menyangkut beberapa hal. Pertama, ini adalah soal mendefenisikan kekuasaan. Di jaman Bung Karno dan Bung Hatta, kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk memperjuangkan masyarakat adil dan makmur. Sedangkan sekarang, kekuasaan dijadikan sarana untuk memperkaya diri sendiri. Kedua, politisi di jaman Bung Karno dibimbing oleh sebuah ideologi atau keyakinan politik. Sedangkan pejabat publik sekarang berjalan tanpa ideologi dan tanpa keberpihakan kepada rakyat. Ketiga, sistim politik kita makin terkomoditifikasi dan jabatan politik tak ubahnya barang dagangan.

Dahlan Iskan Dan Soal Utang



utang luar negeri
Apakah anda senang dengan utang yang terus meningkat? Hingga April 2012, utang pemerintah sudah mencapai Rp1.903 triliun. Data Bank Indonesia tahun 2012 menyebutkan, pada tahun 2006 total utang luar negeri Indonesia sebesar 132,63 miliar dollar AS, namun pada 2011 utang itu sudah membengkak menjadi 221,60 miliar dollar AS.
Ada yang cukup menggelitik soal utang yang terus meningkat. Itu ada di tulisan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, yang berjudul “Tekad Baru: Hidup Yang Polos-Polos Saja”. Sebetulnya, pesan yang hendak disampaikan Dahlan lewat tulisan itu sangat bagus: bagaimana tekad yang sederhana bisa mendorong harapan. Hanya saja, ketika berbicara soal utang, Dahlan Iskan membuat “penyesatan” luar biasa.
Dahlan Iskan bercerita tentang pertemuannya dengan warga desa Bunigeulis, yang berada di lereng Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat. Warga desa itu sedang diliputi kegelisahan terkait masalah bangsa. Salah satunya adalah soal utang negara yang terus meningkat.
Kepada warga desa itu Dahlan Iskan mengajukan pertanyaan begini: baik mana Anda punya utang Rp8 juta tapi kekayaan Anda Rp10 juta, dengan punya utang Rp20 juta tapi kekayaan Anda Rp100 juta? Bagi Dahlan Iskan, tak soal utang Anda meningkat berapapun besarnya, asalkan kekayaan anda juga meningkat drastis.
Penjelasan Dahlan Iskan betul. Akan tetapi, jika penjelasan itu adalah analogi terhadap kondisi utang negara kita saat ini, maka jelas terjadi manipulasi besar-besaran di situ. Sebab, penjelasan soal utang negara tak sesederhana kisah dua orang yang saling pinjam-meminjam.
Pertama,  utang negara yang terus meningkat tidak disertai dengan perbaikan kondisi dan kualitas hidup rakyat. Artinya, penggunaan utang itu belum tentu untuk menggerakkan perekonomian yang menyejahterakan rakyat.
Sebagian besar utang itu dipakai untuk menggerakkan sektor keuangan. Sangat sedikit yang dipakai untuk menggerakkan sektor real, yang notabene menyangkut rakyat banyak. Dari data yang ada disebutkan, sebanyak 39,6 persen utang itu dipakai untuk menggerakkan sektor keuangan. Sedangkan 9,3 persen dipakai untuk perbaikan infrastruktur listrik, gas, dan air. Kemudian sekitar 4,7 persen dipergunakan untuk pengangkutan dan komunikasi. Sementara pertanian, yang menjadi tempat bergantungnya puluhan juta rakyat, hanya menerima alokasi 3,0%.
Ini yang membuat akumulasi utang luar negeri Indonesia tidak berkontribusi pada perbaikan infrastruktur, perbaikan layanan dasar, dan penciptaan lapangan kerja secara massif.
Kedua, sejarah utang—terutama yang berhubungan dengan negara-negara dan lembaga imperialis—adalah “jebakan” alias perangkap (debt trap). Utang luar negeri, seperti ditulis oleh Susan George dalam buku “Debt Boomerang: How Third World Debt Harms Us All”, merupakan suatu mekanisme yang dibuat oleh negara maju (pendonor) untuk memaksa negara penerima (peminjam) mengikuti aturan-aturan atau langkah-langkah yang mereka paksakan.
Negara yang ‘terperangkap utang’ akan dipaksa untuk terus menggenjot ekspornya—terutama ekspor bahan mentah—dan melakukan penghematan pada pengeluaran pemerintah dan belanja kesejahteraan sosial. Ini yang terjadi di sejumlah negara Amerika latin satu dekade lalu dan sekarang terjadi di Indonesia.
Mungkin kita akan bangga dengan ekspor yang meningkat. Akan tetapi, seperti ditulis oleh Eric Toussaint, Presiden Komisi Penghapusan Utang Negara Dunia Ketiga, ekspor ini tidak lebih dari penjarahan kekayaan alam. Menurut Toussaint, dalam dua dekade terakhir, telah terjadi transfer kekayaan berkali-kali lipat dari pinggiran (dunia ketiga) ke pusat (negeri-negeri imperialis). Yang terjadi, negara dunia ketiga akan mengalami kekurangan bahan mentah dan bencana ekologis.
Di samping itu, untuk membayar utang, negara penerima pinjaman harus melakukan penghematan besar-besaran: pemangkasan subsidi, privatisasi layanan publik, dan lain-lain. Bahkan, tidak sedikit disertai dengan privatisasi BUMN. Akibatnya, rakyat dipaksa membayar mahal akses kebutuhan dasarnya (pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik, makanan, dan lain-lain).
Inilah yang menjelaskan mengapa peningkatan utang luar negeri justru berbarengan dengan tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup manusia Indonesia. Itulah sebabnya mengapa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, pada tahun 2011 lalu, terperosok di peringkat 124 dari 187 negara.
Jadi, alih-alih kekayaan nasional Indonesia meningkat, utang luar negeri justru menjebak Indonesia dalam “lingkaran krisis”. APBN tidak pernah sehat karena sebagian dipakai membayar cicilan utang. Sedangkan anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat terus dipangkas.  Lantas, apa buktinya bangsa kita menjadi kaya karena utang? Silahkan tanyakan ke Dahlan Iskan.


KODAM III SILIWANGI


" alt="SILIWANGI"></a> Komando Daerah Militer III/Siliwangi (sering disingkat Kodam III , Kodam Siliwangi , atau Kodam III/Siliwangi ) merupakan Komando Kewilayahan Pertahanan yang meliputi provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten . Motto Kodam Siliwangi adalah Esa Hilang, Dua Terbilang . ★ Sejarah Pembentukan Kodam Siliwangi Lima hari setelah proklamasi, pada 22 Agustus 1945 , pemerintah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai wadah perjuangan. Seiring dengan ancaman yang kian meningkat, pada 5 Oktober 1945, BKR kemudian diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Jawa Barat kebagian membentuk Komandemen-I TKR yang membawahkan 3 divisi. Divisi-I meliputi Keresidenan Banten dan Bogor (bermarkas di Serang), Divisi-II meliputi Keresidenan Jakarta dan Cirebon (bermarkas di Linggarjati, dan Divisi-III meliputi Keresidenan Priangan (bermarkas di Bandung ). Tanggal 20 Mei 1948 , ketiga divisi tersebut disatukan menjadi"Divisi Siliwangi" dan bermarkas di Tasikmalaya . Nama Siliwangi terus dipertahankan, walaupun nama kesatuan berubah menjadi Tentara&Teritorium (T&T) III Siliwangi, 24 Juli 1950 . Kemudian menjadi Kodam VI/Siliwangi, 24 Oktober 1959 dan menjadi Kodam III/Siliwangi, 2 Februari 1985 . Momentum pemilihan nama"Siliwangi" pertama kali, 20 Mei menjadi hari jadi Kodam III/Siliwangi. ★ Kisah Prabu Siliwangi sangat dikenal dalam sejarah Sunda sebagai Raja Pajajaran. Salah satu naskah kuno yang menjelaskan tentang perjalanan Prabu Siliwangi adalah kitab Suwasit . Kitab tersebut berisi 22 bab perjalanan Prabu Siliwangi dimulai dari ayahnya, Prabu Anggararang Raja Kerajaan Gajah. Setelah Prabu Anggararang merasa puteranya layak memangku jabatan raja, akhirnya kerajaan diserahkan kepada Pangeran Pamanah Rasa (sebelum bergelar Siliwangi). Mengenai nama Siliwangi, dijelaskan bahwanama tersebut adalah gelar setelah Pangeran Pamanah Rasa masuk Islam sebagai salah satu syarat mempersunting murid Syaikh Quro, yakni Nyi Ratu Subanglarang. Dari isteri ketiga ini, kemudian melahirkan Kian Santang yang bergelar Pangeran Cakrabuana di Cirebon dan Rara Santang, ibunda Sunan Gunung Jati. Bersamaan dengan luasnya wilayah Gajah, kemudian Prabu Siliwangi menciptakan senjata Kujang, berbentuk melengkung dengan ukiran harimau di tangkainya. Senjata tersebut kemudian menjadi lambang Jawa Barat. Nama kerajaan Gajah pun diganti menjadi kerajaan Pajajaran, karena menjajarkan (menggabung) kerajaan Gajah dengan kerajaan Harimau Putih. Kisah dalam Kitab Suwasit diakhiri dengan mokhsa (menghilang) dan dipindahkannya kerajaan Pajajaran ke alam Gaib bersama Harimau Putih. Pada kitab yang sudah diterbitkan oleh Jelajah Nusa, dikisahkan dalam bab keempat bahwa setelah menjadi kerajaan Gajah, Pangeran Pamanah Rasa melakukan pengembaraan hingga di sebuah hutan di wilayah Majalengka. Ketika hendak meminum air dari curug (air terjun), Pangeran Pamanah Rasa dihadang oleh siluman Harimau Putih sehingga terjadi pertarungan hebat hingga setengah hari. Namun berkat kesaktian Pangeran Pamanah Rasa, siluman Harimau itu bisa dikalahkan dan tunduk padanya. Kitab yang diterbitkan dengan sambutan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan kemudian mengisahkan bahwa Harimau Putih berubah wujud menjadi manusia untuk mendampingi pengembaraan Pangeran Pamanah Rasa hingga menaklukkan kerajaan Galuh dengan bantuan Harimauu Putih. Bahkan disebutkan, ketika terjadi penyerangan olehkerajaan Mongol (mungkin masa Kubilai Khan), kerajaan Gajah dibantu pasukan Harimau Putih. Tentunya, meskipun kental dengan unsur mitos, kitab tersebut merupakan sumber sejarah yang sangat penting. ◆◇ PALEIS van de Legercommandant atau istanapanglima tertinggi militer adalah sebutan bagi gedung yang sekarang menjadi Markas Kodam III Siliwangi. Bangunan megah yang sekarang berfungsi sebagai kantor militer iniberdiri pada tahun 1918. Pembangunan gedung ini memakan waktu dua tahun lamanya. Berdasarkan catatan sejarah, pada awal abad ke-20, Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kota Bandung sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat komando militer. Maka tak heran, jika banyak dilakukan pembangunan gedung-gedung yang bisa menunjang kota Bandung sebagai pusat pemerintahan. Termasuk, pemindahanuntuk kekuatan militer. Diawali dengan pemindahan Departemen Peperangan (Departement van Oorlog) dari Jakarta ke Bandung yang berada di Jalan Kalimantan sekarang. Kemudian, dibangunlah rumah kediaman bagi panglima tertinggi militer pemerintahan Hindia Belanda sebagai rumahdinasnya. Usai Perang Dunia II, rencana pemindahan ibu kota ke Bandung tidak terealisasikan karena Indonesia dikuasai Jepang, maka gedung Paleis van de Legercommandant pun tak lagi didiami sang panglima. Pascakemerdekaan Indonesia, gedung ini kemudian menjadi markas bagi tentara Divisi I/Siliwangi yang saat itu merupakan gabungan dari Brigade I/Tirtayasa, Brigade II/Suryakancana, Brigade III/Kian Santang, Brigade IV/Guntur, dan Brigade V/Sunan Gunung Jati. Gedung istana panglima tertinggi ini memiliki desain tegak dan lurus khas militer rancangan dua bersaudara Schoemaker. Kini,ruangan dalam bangunan utama salah satunya diberi nama Ruang Sudirman yang terdiri dari ruang utama, pataka, kehormatan dan tamu VIP. Penamaan Sudirman disematkan untuk mengenang Jenderal Besar Sudirman. Penyematan nama Sudirman pun diikuti dengan dipasangnya patung sosok Sudirman beserta relief perjuangan Sudirman selama masa kemerdekaan di ruang utama. Ruang Sudirman yang diresmikan pada tahun 1994 ini pun, masih terjaga dengan baik. Begitu pula dengan keseluruhan bangunan utama Kodam III/Siliwangi. Tak heran, jika gedung markas Kodam III/Siliwangi terpilih menjadi salah satu bangunan yang mampu mempertahankan bangunan cagar budaya dalam Heritage Award tahun ini. (Dok. ”PR” )*** +Lokasi : Jalan Aceh 59 Kota Bandung +Fungsi : Kantor Militer , merupakan komando kewilayahan pertahanan yang meliputi Provinsi Jawa Barat dan Banten +Arsitek : R.L.A. Schoemaker& C.P. WolffSchoemaker +Tahun Berdiri : 1918 +Kondisi bangunan : Pada bangunan utama terdiri dari Ruang Sudirman, Ruang Abdul Haris Nasution, dan Ruang Kosasih (Aula). +Ruang Sudirman, terdiri dari 4 ruang: -Ruang utama (ruang upacara-upacara tradisi Kodam III/Siliwangi) -Ruang pataka (tempat menyimpan pataka(*) Kodam III/Siliwangi) -Ruang kehormatan (tempat foto prajurit Siliwangi teladan, panji kesatuan prajurit Siliwangi dan foto penerima Bintang Sakti) -Ruang tamu VIP (untuk menerima tamu kehormatan) (*)lambang kebanggaan, kehormatan, dan kesiapan menjalankan tugas.

Posted by: http://tekslink.blogspot.in/

Bung Karno Dan Negara Res Publica



Soekarno-wawancara
Pada tahun 1956, pertarungan politik dan gagasan di Indonesia mengarah kepada satu kesimpulan: demokrasi liberal harus segera diakhiri. Bung Karno, yang sejak awal menyatakan ketidaksukaannya terhadap model demokrasi ini, semakin menegaskan sikapnya dalam sebuah pidato di hadapan Majelis Konstituante.
Kepada para calon pembuat konstitusi baru itu, Bung Karno telah menganjurkan agar konstitusi baru disusun berdasarkan realitas yang hidup di Indonesia. “Jangan meniru atau menyadur konstitusi orang lain,” kata Bung Karno. Ia menyerukan agar Konstituante membuat konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
>>>
Di tengah-tengah pidato itu, Bung Karno mengajak anggota Konstituante merenungkan arti kata Republik. Pasalnya, banyak yang memahami republik dari bentuk luarnya saja, tetapi belum memahami isinya.
Istilah “Republik”, kata Bung Karno, berasal dari kata “Res Publica”, yang berarti kepentingan umum. Ia merupakan negasi dari bentuk negara yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan satu individu ataupun kepentingan satu klas.
Sekalipun banyak negara yang menganut sistim republik, kata Soekarno, tetapi mereka tidak konsisten menerapkan makna “kepentingan umum” itu. Lagi-lagi Bung Karno merujuk ke eropa. Di sana, katanya, mereka ber-res-publica hanya di lapangan politik saja, tetapi tidak melakukannya di lapangan ekonomi.
“Kekuasaan ekonomi tidak mau  mereka akui sebagai hak bersama. Jangankan di dalam praktek, di dalam teori pun tidak,” kata Bung Karno.
Demikian pula dengan lapangan sosial dan budaya, terkadang res-publica juga tidak menyentuh wilayah ini. Sehingga pintu kehidupan sosial dan kebudayaan sering terutup bagi mereka yang tidak berkuasa.
Tetapi gagasan Republiken ala Bung Karno jelas berbeda dengan gagasan Republiken yang diadopsi oleh sebuah Partai Sarekat Rakyat Independen (SRI). Rocky Gerung, seorang ideolog partai SRI, mengidentifikasi republikanisme sebagai pengaktifan warga negara dalam kehidupan politik, dimana warga negara bukan penerima pasif. Ide republikanisme ala SRI adalah mirip dengan res-publica yang dikritik habis-habisan oleh Bung Karno, yaitu res publica yang hanya diselenggarakan di lapangan politik.
Melihat uraian Bung Karno itu, kita melihat adanya konsistensi dalam teori-teori dan keinginan-keinginan politiknya: ketika menyampaikan pidato 1 Juni 1945 (kelahiran Pancasila), Soekarno dengan tegas mengatakan Indonesia merdeka tidak hanya mengejar politieke democratie (demokrasi politik) saja, tetapi juga memperjuangkan socialie rechtvaardigheid (keadilan sosial).
Dan melalui pidato itu, Bung Karno kembali menegaskan bahwa Indonesia merdeka bukanlah negara untuk satu golongan, bukan pula negara borjuis, melainkan sebuah negara yang dimiliki seluruh rakyat. “Maka res-publica pun dijalankan di semua lapangan: politik, ekonomi, sosial, dan budaya”. “Harus menjadi republiken 100%,” begitu kata Bung Karno.
Sayang sekali, Konstituante gagal menghasilkan konstitusi baru.
Akhirnya, pada 22 April 1959, melalui pidato berjudul “Res Publica! Sekali Lagi Res Publica!”, Soekarno telah mengajak untuk kembali ke UUD 1945. Lalu pada tanggal 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit. Maka bubarlah Konstituante itu dan bangsa Indonesia pun kembali ke UUD 1945.
>>>
Tetapi, untuk mencapai cita-cita res-publica yang dimimpikan Soekarno, ia perlu faktor pendukung: lingkungan politik yang stabil, persatuan nasional yang kuat, dan semangat rakyat yang berjuang.
Tetapi demokrasi liberal telah menjadi halangan untuk itu. Pertama, demokrasi parlementer menyebabkan pemerintahan tidak stabil, sehingga pemerintahan tidak bisa bekerja secara maksimal.
Sejak penerapan demokrasi parlementer, terhitung ada tujuh kali pergantian kabinet: Natsir (1950-1951), Sukiman, 10 bulan (April 1951-Februari 1952), Wilopo 14 bulan (April 1952-Juni 1953), Ali Sastroamidjojo 24 bulan (Juli 1953-Juli 1955), Burhanuddin Harahap 7 bulan (Agustus 1955-Maret 1956), lalu kembali Ali Sastroamidjojo 12 bulan (Maret 1956-Maret 1957).
Kedua, demokrasi parlementer membawa bangsa Indonesia yang masih muda ke dalam sebuah krisis; friksi antar partai politik, saling jegal antar golongan politik, menurunnya semangat juang, dan lain sebagainya.
Hal itu, dalam bayangan Bung Karno, sangat terang melemahkan persatuan nasional. Padahal, di satu sisi, masih ada tugas nasional yang belum selesai, yaitu menghancurkan sisa-sisa kolonialisme dan imperialisme.
Ketiga, Demokrasi itu juga dianggap oleh Bung Karno telah meracuni rakyat: munculnya ego-sentrisme. Ego-sentrisme telah memicu gerakan separatism di daerah, baik yang bersifat kedaerahan maupun keagamaan.
Bagi sebagian pengamat politik, seperti Ignas Kleden, pengalaman demokrasi parlementer memberikan pencapaian positif: perdebatan yang tekun dan bermutu tinggi telah membuka jalan ke arah konstitusionalisme, sebagai suatu cita-cita yang hendak dijadikan tradisi dalam masyarakat baru.
Bung Karno sangat tegas menolak demokrasi liberal ataupun ‘diktatur’.
Demokrasi liberal, seperti berulang-ulang dikatakannya, hanya mengejar persamaan di lapangan politik, tetapi mengabaikan persamaan sosial atau ekonomi.
“Seperti juga dalam perdagangan, jika kesempatan yang sama itu tidak dibarengi dengan kemampuan yang sama, maka golongan yang lemah akan tertindas oleh golongan yang kuat,” ujarnya Soekarno, seraya menyakinkan anggota konstituante.
Oleh karena itu, muncul ide Soekarno untuk mendesakkan sebuah tipe demokrasi yang terbimbing atau terpimpin, yakni sebuah demokrasi mencegah terjadinya eksploitasi oleh si kuat terhadap si lemah.
Tetapi perlu dicatat, terkait penerapan model demokrasi terpimpin itu, Soekarno menggaris-bawahi bahwa hal itu hanya dilakukan dalam masa transisi. Transisi yang dimaksud adalah peralihan dari alam kolonialisme ke nasional; peralihan dari perbudakan ke alam kemerdekaan politis-ekonomis.
Periode transisi sendiri akan berakhir pada satu titik: saat dimana emansipasi ekonomi dan sosial sudah merata.
Tetapi, dimata banyak pengamat politik, demokrasi terpimpin dianggap menciptakan benih otoritarianisme; ada pelarangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi, ada pula pelarangan terhadap karya-karya seniman yang tak sejalan dengan pemerintah, ada pembredelan sejumlah surat kabar.
Tetapi, perlu dicatat di sini, bahwa “pelarangan” tidak berarti penghancuran secara fisik terhadap partai atau kegiatan politik dimaksud. Kita jangan membayangkan “pelarangan” di sini seperti ketika Soeharto melarang PKI dan ajarannya. Soe Hok Gie, yang aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis—dekat dengan PSI, masih beraktivitas dan aktif berhubungan dengan orang-orang PSI.
Soekarno sendiri menolak menjadi diktatur, sekalipun kesempatan itu berkali-kali datang kepadanya. Pada tanggal 17 Oktober 1952, misalnya, ketika militer melancarkan kudeta dan memintanya membubarkan parlemen, Soekarno menjawab, “Bapak tidak mau berbuat dan dikatakan sebagai diktator.”
*) Staff Redaksi Berdikari Online dan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Diskriminasi Dalam Dunia Pendidikan



Hapuskan RSBI
Selasa, 8 Januari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat gebrakan mendasar. Setelah melalui polemik panjang, MK akhirnya membatalkan Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keputusan ini menghapus keberadaan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI).
Dalam putusannya, MK menganggap keberadaan RSBI/SBI telah menciptakan diskriminasi dalam dunia pendidikan. Selain itu, adanya pembedaan RSBI/SBI dan non-RSBI/SBI dapat menimbulkan kesan adanya kasta-kasta dalam pendidikan.
Di bawah mimpi mengejar “standar internasional”, khususnya standar negara-negara maju yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pemerintah menggelontorkan proyek RSBI. Untuk tujuan itu, dibuatlah standar siswa RSBI: kecerdasan harus melebihi inteligensi kolektif Indonesia (TIKI), berbakat, memiliki nilai rata-rata 7,5,dan kemampuan bahasa Inggris.
Selain itu, sarana dan prasarana RSBI serba lengkap dan mewah. Sistem pembelajarannya ditopang dengan sistim TIK (teknologi informasi dan komunikasi) dan perpustakaan digital. Tak hanya itu, sekolah RSBI juga menggandeng guru-guru asing.
Di sinilah persoalan muncul. Atas nama “standarisasi”, pemerintah memberikan perlakuan berbeda terhadap anak bangsa.  RSBI menikmati anggaran sangat besar dari pemerintah. Anggaran itu lebih besar dibanding anggaran untuk sekolan non-RSBI/SBI. Tak hanya itu, gaji guru di sekolah RSBI, khususnya untuk klas internasional, sangat besar. Gaji guru “native speaker”, yang biasanya diisi oleh orang asing, bisa mencapai Rp 30-an juta per bulan. Bandingkan dengan gaji guru berstatus PNS yang hanya berkisar RP 3 jutaan per bulan.
Lalu, berdasarkan restu dari Permendiknas 78/2009, sekolah RSBI/SBI bisa melakukan pungutan terhadap siswa/orang tua siswa. Akibatnya, sekolah RSBI ini pun menjadi ajang bisnis. Di sini, praktek diskriminasi kembali terjadi. Mereka yang bisa masuk dan mengakses pendidikan di RSBI hanyalah orang-orang yang sanggup membayar mahal. Sedangkan siswa dari keluarga miskin, sekalipun cerdas, harus gigit jari.
Konsep RSBI sangat berlawanan dengan konstitusi kita (UUD 1945). Prinsip UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, seluruh rakyat Indonesia berhak untuk mengakses pendidikan yang sama, fasilitas yang sama, dan kualitas yang sama. Dengan demikian, dalam memajukan kualitas pendidikan nasional, pemerintah seharusnya tidak bertindak diskriminatif. Apalagi, UNESCO sendiri menganut prinsip pendidikan untuk semua alias pendidikan universal.
Ironisnya, ketika pemerintah gembar-gembor soal mutu dan kualitas, mereka lupa tentang ketersediaan dan akses rakyat terhadap pendidikan. Sampai sekarang ini, masih ada 9 juta rakyat Indonesia yang buta huruf. Sudah begitu, setiap menitnya ada 4 anak Indonesia yang putus sekolah.
Angka partisipasi pendidikan Indonesia juga masih rendah. Angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMP baru 70%. Sedangkan APK untuk tingkat SMU baru berkisar 60%. Lalu, angka partisipasi di pendidikan tinggi baru berkisar 18,7%. Artinya, masih banyak rakyat Indonesia yang belum diberi kesempatan untuk mengakses pendidikan.
Di banyak negara, termasuk Jepang, yang dikejar pertama adalah soal ketersediaan dan akses rakyat terhadap pendidikan. Sehingga, yang dibangun bukanlah sekolah unggulan, melainkan membangun sekolah sebanyak-banyaknya hingga ke pedalaman. Kuba, negara yang standar pendidikannya disejajarkan dengan negara maju, juga lebih mendahulukan akses pendidikan bagi seluruh rakyat. Kuba memobilisasi seluruh sumber dayanya, termasuk anggaran negara, untuk menyelenggarakan pendidikan gratis di seluruh jenjang pendidikan.
Di indonesia, masalahnya terletak di komitmen pemerintah. Anggaran pendidikan kita tidak pernah melebihi 4% dari PDB. Bandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia (5,2%%) dan Thailand (5,0%). Sedangkan Kuba, negeri yang pernah dilanda kelaparan, tetap konsisten dengan anggaran pendidikan di atas 6% dari PDB-nya.
Ironisnya, dalam konsep RSBI, kualitas diukur dengan kemampuan berbahasa inggris, dengan fasilitas ruangan LCD dan Infocus dan standar internasional (ISO 9001). Pada kenyataannya, seperti diungkap dosen Universitas Brawijaya Malang, Tri Wahono, hanya empat sekolah berstatus RSBI yang masuk 10 besar terbaik dalam Ujian Nasional.
Pada tahun 2009 lalu, sejumlah kepala sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) mengunjungi Jepang. Murni Ramli, penerjemah sekaligus seorang peneliti pendidikan yang saat itu mendampingi mereka, membuat catatan menarik tentang kunjungan itu ( baca di sini).
Menurut Murni, konsep pendidikan Jepang tak mengenal istilah internasional dan nasional. Bagi pakar pendidikan Jepang,  pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak yang pandai saja. Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas yang sama. Karena itu, yang dilakukan Jepang bukan membuat sekolah unggulan, tetapi membangun sekolah-sekolah di seantero negeri dengan fasilitas yang sama yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan.
Yang paling menarik dari laporan Murni Ramli: sekolah-sekolah di Jepang, yang menghasilkan lulusan hebat bagi bangsa Jepang, justru ruang kelasnya masih berpapan-tuliskan papan tulis kayu, dengan alat tulis kapur, dan tidak dilengkapi dengan OHP. Siswa-siswanya juga tidak bebas mengakses internet dan tidak bebas membawa laptop masing-masing.
Sayang, pemerintah dan sebagian pemerhati pendidikan kita mengabaikan fakta tersebut. Mereka berlomba-lomba mengejar predikat internasional, dengan kebanggaan bisa berbahasa asing, tetapi lupa akan makna kedalaman ilmu dan realitas sosial bangsanya.

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/editorial/20130110/diskriminasi-dalam-dunia-pendidikan.html#ixzz2HdFbBOmY

Prabu Siliwangi dan Mitos Maung Dalam Masyarakat Sunda



Legenda Prabu Siliwangi
Dalam khazanah kebudayaan masyarakat tatar Sunda, maung atau harimau merupakan simbol yang tidak asing lagi. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebudayaan dan eksistensi masyarakat Sunda dikorelasikan dengan simbol maung, baik simbol verbal maupun non-verbal seperti nama daerah (Cimacan), simbol Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi, hingga julukan bagi klub sepak bola kebanggaan warga kota Bandung (Persib) yang sering dijuluki Maung Bandung. Lantas, bagaimana asal-muasal melekatnya simbol maung pada masyarakat Sunda? Apa makna sesungguhnya dari simbol hewan karnivora tersebut?
Maung dan Legenda Siliwangi
Dunia keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang diintrodusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang) Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang. Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung[1]. Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah. Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah tapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Kisah lain yang berkaitan dengan menjelmanya Prabu Siliwangi menjadi harimau adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah menjalani tapadrawa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang. Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan  yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Namun, serangkaian kisah yang mendeskripsikan korelasi antara Prabu Siliwangi dengan mitos maung itu tetap saja menyisakan pertanyaan besar, apakah itu semua merupakan fakta sejarah? Siapa Prabu Siliwangi sebenarnya dan darimanakah mitos maung itu muncul pertama kali?
Kekeliruan Tafsir
Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.[2]
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi. Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.[3] Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi. Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata.[4] Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.)   Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.)   Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.)   Ratu Sakti (1543-1551)
4.)   Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.)   Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf.[5] Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang. Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya. Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawareng[6] nya Prabu Siliwangi. Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten. Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang). Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi “dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau. Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau. Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan Pajajaran. Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.[7] Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Kesimpulan
Mitos maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol, maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya, khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh. Terima kasih.
Sampurasun..
HISKI DARMAYANA, Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran.


[1] Kisah mengenai wangsit ini telah menjadi semacam kisah yang sifatnya “tutur tinular” dari generasi ke generasi dalam masyarakat Sunda. Sehingga sulit dilacak dari mana sebenarnya cerita mengenai wangsit ini bermula.
[2] Sebagian kalangan berkeyakinan lambang Pajajaran adalah burung gagak (kini menjadi lambang salah satu perguruan silat di Jawa Barat, Tajimalela). Sementara ada pula yang berpendapat bahwa gajah adalah simbol Pajajaran yang sebenarnya.
[3] Nama Siliwangi sudah muncul di Kropak 630, semacam karya sastra Sunda berjenis pantun pada masa Prabu Jayadewata berkuasa. Seperti halnya nama Prabu Wangi, Siliwangi juga diciptakan oleh para pujangga Sunda sebagai julukan atau gelar bagi Prabu Jayadewata. Selain Siliwangi, Prabu Jayadewata juga mendapat gelar lain, yakni Sri Baduga Maharaja.
[4] Terdapat dalam  naskah Carita Parahyangan. Naskah ini mendokumentasikan kehidupan Kerajaan Sunda-Galuh hingga Pajajaran dari berbagai aspek, seperti politik dan ekonomi.
[5] Maulana Yusuf tiada lain adalah keturunan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subanglarang.
[6] Janggawareng merupakan istilah  bagi keturunan kelima dalam sistem kekerabatan Sunda.
[7] Hal ini diceritakan dalam naskah Carita Parahyangan. Migrasi besar-besaran tersebut dilakukan untuk menghindari serangan Pasukan Banten yang sangat gencar. Sementara strategi pertahanan Prabu Nilakendra amat lemah  dan tidak mampu membendung agresi Banten.

Sejarah Singkat Kodam III SILIWANGI


Pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah RI mengeluarkan maklumat pembentukan Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ). Selaras dengan anjuran tersebut, di Jawa Barat di bentuk Komandemen I TKR yang membawahi 3 Divisi Yaitu :

Divisi I, meliputi Karesidenan Banten dan Bogor dengan markas   Komando berkedudukan di Serang di bawah pimpinan Kolonel Kyai Sam'un.

Divisi II, Meliputi Karesidenan Jakarta dan Cirebon dengan Markas Komando berkedudukan di Linggar jati dibawah pimpinan Kolonel Asikin.

Divisi III, meliputi Karesidenan Priangan dibawah pimpinan Kolonel Aruji Karta Winata berpusat di Bandung.
  Pada tanggal 20 Mei 1946 ketiga divisi tersebut digabungkan menjadi satu dengan nama "Divisi Siliwangi" dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution, dan saat itu markas Komando Divisi berada di Tasikmalaya, momentum inilah yang dijadikan titik tolak hari jadi Kodam III/Siliwangi.
          Organisasi Kodam III/Siliwangi selama kurun waktu 1946 sampai sekarang mengalami beberapa perubahan sebagai berikut :
 
a.          Divisi Siliwangi (tanggal 20 Mei 1946) dengan markas Komando Divisi di jalan Sutisna Sanjaya Tasikmalaya pimpinan Kolonel A.H. Nasution (dijadikan hari jadi Kodam III/Siliwangi).
b.          Tentara dan Teritorium III/Siliwangi berdasarkan penetapan KASAD Nomor : 83/KSAD/PNT/50 nama Divisi Siliwangi diganti menjadi Tentara dan Teritorium III/Siliwangi meliputi wilayah Jawa Barat berkedudukan di Bandung dengan Panglimanya Kolonel Sadikin.
c.          Komando Daerah Militer VI/Siliwangi (Kodam VI/Siliwangi) berdasarkan penetapan KASAD Nomor : 0-5 tanggal 5 Agustus 1958 atau keputusan KASAD Nomor : KPT 952/10/1959 tanggal 24 Oktober 1959 Teritorium III/Siliwangi berubah menjadi Kodam VI/Siliwangi berkedudukan di Bandung.
d.           Komando Daerah Militer III/Siliwangi berdasarkan No. Sprin/346/II/1985 tanggal 12 Pebruari 1985 atau keputusan KASAD No. Skep/131/II/1985 tanggal 12 Pebruari 1985 Kodam VI/Siliwangi diganti menjadi Kodam III/Siliwangi sampai sekarang.

Daftar Blog Saya