Nampaknya semakin jauh panggang dari api, bila kita bersama mengharapkan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi khatulistiwa ini. Hal ini disiratkan dengan realitas yang ada, bahwa jiwa seseorang yang seharusnya tak terkira nilainya dewasa ini nilai jiwa manusia Indonesia serasa menjadi sangat murah.
Tentunya kita masih mengingat tewasnya seorang suporter Persib ketika melawan Persija di Stadion Gelora Bung Karno Senayan Jakarta beberapa pekan silam. Kemudian disusul sebuah realita tentang seorang suporter Persebaya yang tewas ketika Persebaya bertanding melawan Persija di Surabaya. Belum lagi kasus bentrokan bermuatan sara di Papua, yang juga memakan korban jiwa.
Akhirnya timbul sebuah wacana dari sanubari kita, mengapa kedamaian yang pernah kita rasakan karena sebuah perjuangan melawan penjajah di masa revolusi lebih mudah kita dapatkan ketimbang era revormasi ini? Sehingga sebuah pertanyaan dari kita pun menyeruak ke tengah atsmosfer, mungkinkah kedamaian yang sekarang akan kita peroleh didapat karena turun dari langit begitu saja? Tanpa kita sematkan lantaran pencerahan dan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara dari kita semua?
Namun pada kenyataan langkah kita untuk menuju titik akhir sebuah reformasi semakin tidak jelas, dengan menorehkan perilaku - perilaku kontroversi dan amoralitas pada manusia yang terus saja bergulir. Terutama para oknum petinggi kita yang miskin suri tauladan terhadap grassrote. Baik oknum pejabat negara dari daerah hingga pusat atau petinggi partai yang semakin mengisyaratkan sesuatu kegamblangan tentang mentalitas oknum petinggi partai kita. Keadaan sudah demikian tinggi tingkat distorsi moralitasnya. Lantas siapa lagi yang bakal membela nasib si kecil yang semakin terjebak dalam berbagai pendzoliman? Seperti mahalnya biaya pendidikan di sekolah negeri dan kesulitan lainnya?
Nampaknya kita sudah lupa dengan tujuan reformasi yang semula kita usung. Tinggalah kini sebuah orde transisi yang kita miliki. Sebuah orde yang bercirikan kegamangan semua sistem yang kita miliki di tengah masyarakat yang gamang, yang telah mengalami krisis jati diri. Sebagian masyarakat mengokohkan sikap berbangsa dan bernegara dengan identitas tertentu dan sebagian lainnya mengusung sebuah identitas lainnya. Sebagian masyarakat Indonesia lupa diri dengan hidup dari hasil korupsi, tanpa sedikitpun beban moralitas yang ada. Sedangkan sebagian lainnya menganggap korupsi adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri, masyarakat dan negara.
Bahkan sebagian pendidik menganggap hal yang biasa dengan pencurangan UN, sedangkan sebagian lainnya menganggap pencurangan UN pada peserta didik adalah tindakan perusakan jati diri generasi muda.
Tentunya kita masih mengingat tewasnya seorang suporter Persib ketika melawan Persija di Stadion Gelora Bung Karno Senayan Jakarta beberapa pekan silam. Kemudian disusul sebuah realita tentang seorang suporter Persebaya yang tewas ketika Persebaya bertanding melawan Persija di Surabaya. Belum lagi kasus bentrokan bermuatan sara di Papua, yang juga memakan korban jiwa.
Akhirnya timbul sebuah wacana dari sanubari kita, mengapa kedamaian yang pernah kita rasakan karena sebuah perjuangan melawan penjajah di masa revolusi lebih mudah kita dapatkan ketimbang era revormasi ini? Sehingga sebuah pertanyaan dari kita pun menyeruak ke tengah atsmosfer, mungkinkah kedamaian yang sekarang akan kita peroleh didapat karena turun dari langit begitu saja? Tanpa kita sematkan lantaran pencerahan dan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara dari kita semua?
Seorang manusia Indonesia yang paling dungu pun mampu menjawab, bahwa wacana tersebut tak mungkin terealisasi tanpa kesiagapan kita dalam menyingsingkan lengan baju. Namun apa daya wacana tersebut semakin sulit direalisasikan. Justru secara kontroversi terjadi di era reformasi yang di identikan dengan supremasi hukum, keterbukaan antara kita semua, kebebasan pers, kebebasan berbicara dan berpolitik, revitalisasi fungsi TNI menjadi fungsi pertahanan negara semata. Serta optimalisasi fungsi pendidikan guna menuju manusia Indonesia yang berkarakter.
Namun pada kenyataan langkah kita untuk menuju titik akhir sebuah reformasi semakin tidak jelas, dengan menorehkan perilaku - perilaku kontroversi dan amoralitas pada manusia yang terus saja bergulir. Terutama para oknum petinggi kita yang miskin suri tauladan terhadap grassrote. Baik oknum pejabat negara dari daerah hingga pusat atau petinggi partai yang semakin mengisyaratkan sesuatu kegamblangan tentang mentalitas oknum petinggi partai kita. Keadaan sudah demikian tinggi tingkat distorsi moralitasnya. Lantas siapa lagi yang bakal membela nasib si kecil yang semakin terjebak dalam berbagai pendzoliman? Seperti mahalnya biaya pendidikan di sekolah negeri dan kesulitan lainnya?
Nampaknya kita sudah lupa dengan tujuan reformasi yang semula kita usung. Tinggalah kini sebuah orde transisi yang kita miliki. Sebuah orde yang bercirikan kegamangan semua sistem yang kita miliki di tengah masyarakat yang gamang, yang telah mengalami krisis jati diri. Sebagian masyarakat mengokohkan sikap berbangsa dan bernegara dengan identitas tertentu dan sebagian lainnya mengusung sebuah identitas lainnya. Sebagian masyarakat Indonesia lupa diri dengan hidup dari hasil korupsi, tanpa sedikitpun beban moralitas yang ada. Sedangkan sebagian lainnya menganggap korupsi adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri, masyarakat dan negara.
Bahkan sebagian pendidik menganggap hal yang biasa dengan pencurangan UN, sedangkan sebagian lainnya menganggap pencurangan UN pada peserta didik adalah tindakan perusakan jati diri generasi muda.
Padahal kedamaian yang melengkungi suatu bangsa yang merdeka tentunya diawali terlebih dahulu dengan kesepakatan kita bersama dalam menjaga dan melestarikan nilai - nilai dasar yang berlaku di negara tersebut. Barulah sebuah kedamaian tentu saja bisa turun dari langit. Namun sebaliknya apabila kita bisa melupakan ini semua, maka kedamaian yang turun dari langit sampai kapanpun tak bakal mampu kita peroleh. Tentu saja kita mengetahui bersama bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan merubah nasib suatu kaum, apabila kaum itu mampu beritikad dan berbuat untuk mendapatkan prestasi gemilangnya.
Di lain pihak apabila masa transisi sebuah bangsa tidak mampu kita lewati, maka sebuah ancaman bukan tidak mungkin akan kita dapatkan, yaitu sebuah integrasi yang sangat merugikan kita bersama. Jadilah sebuah isapan jempol belaka tentang kedamaian yang bisa turun dari langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar