Nahdatul Ulama - Muhammadiyah
A. Pendahuluan
Pluralisme
agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis
dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman:
bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya?
Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta
sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi
hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?.
Fakta
sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama
belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta
berbicara sebaliknya: pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik
sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang
bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih kuatnya “Hambatan Teologis”
di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama
sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan
pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran,
eksklusif dan cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita
adalah begaimana memecahkan “hambatan teologis” dikalangan umat beragama
dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan.1
Sebagai
organisasi terbesar di Indonesia, ternyata antara Muhammadiyah dan NU
memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik
maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya
dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua
organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada
mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok,
menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar.
Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun
wacana keagamaan.
Keberadaan
Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) dalam sejarah Indonesia modern
memang amat menarik. Sepanjang perjalanan kedua organisasi Islam
terbesar ini, senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus
konfrontasi. Membicarakan Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu
melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah
pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen
historis yang amat sensitif. Sekedar contoh, Sering dinyatakan,
kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai
aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski
bukan satu-satunya alasan.
B. Pembahasan
- Latar Belakang eksistensi Nahdlotu Ulama (NU) dan Muhammadiyah
Nahdlatul
Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang
didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya
oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh
pesantren dan pelopor utamanya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri
sekaligus pengasuh Pon Pes. Tebuireng – Jmbang pada tahun itu. Tujuan
didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah
(Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat. Ini berarti NU adalah
organisasi keagamaan yang secara konstitusional membela dan
mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel.2
Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah),
NU merupakan bagian integral dari wacana pemikiran suni. Terlebih lagi,
jika kita telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki
pertautan sangat erat dengan para ulama “Haramain” (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Usmani yang ketika itu berhaluan Aswaja.
Selama
ini image masyarakat terhadap NU terlanjur miring dengan jargon sebagai
kaum tradisionalis, kolot, irasional dan jumud (stagnan) dalam
pemikiran. Tentu saja image tersebut tidak berdasar. Jika NU statis,
bagaimana mungkin memiliki umat 35 juta yang tersebar di seluruh tanah
air dan memiliki kredo (kaidah hukum) Al-Mukhafatdlatu ‘Ala Qadimish Shalih Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan
nilai dan tradisi lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif
terhadap nilai dan tradisi baru yang lebih baik).3
Keadaan
agak tertolong, setelah NU secara yuridis menjustifikasikan satu
keputusan monumental bagi reformasi secara kritis dan analitis dalam
institusi tertinggi dibawah Muktamar yaitu Musyawarah Nasional Alim
Ulama di Bandar Lampung pada tahun 1992.4 Dalam keputusan tersebut disepakati bahwa sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahsul Masail Diniyah (pembahasan masalah-masalah agama) bisa dilaksanakan dengan pola bermazhab secara qauli (tekstual) maupun manhaj
(kontekstual). Hal ini memberikan kemungkinan untuk mengikuti manhaj,
jalan pikiran dan kaidah hukum yang telah disusun oleh para Imam mazhab.
Begitupun dalam bidang akidah, tidak mustahil terjadi pembaharuan
pemikiran sepanjang sejalan dengan manhaj Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan
Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Pola berpikir semacam ini dapat diketahui
pada pemikiran Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali,
Al-Syahrastani dan Al-Razi.
Sementara
itu, Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA.Dahlan di
Yogyakarta (1912), dalam perjalanan sejarahnya selama lebih dari 85
tahun telah menunjukkan kemampuannya menghadapi berbagai perubahan
sosial tanpa kehilangan identitasnya sebagai gerakan Islam amar-makruf
nahi-munkar. Setidak-tidaknya ada lima era perubahan sosial dan proses
pembangunan bangsa yang telah dilalui oleh Muhammadiyah dengan relatif
mulus.5
Muhammadiyah
sejak kelahirannya dikenal sebagai gerakan pembaharu Islam dengan
jargon-jargon ijtihad dan tajdidnya yang direalisasikan dalam
bidang-bidang sosio-kultural dengan amal usaha di bidang pendidikan ,
sosial- kemasyarakatan dan kegiatan keagamaan. Karena sepanjang
sejarahnya Muhammadiah lebih menonjol gerakannya di bidang amal usaha
sosial dibandingkan dengan produk pemikiran keagamaannya, maka
Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan amal (praksis) bukan sebagai
gerakan pemikiran. Walaupun demikian karena apa yang telah dilakukan
Muhammadiyah dengan dampak sosialnya yang begitu besar itu merupakan
implementasi dari hasil ijtihadnya, maka dapat diasumsikan bahwa ada
mekanisme kerja pembaharuan pemikiran keagamaan yang dilaksanakan
Muhammadiyah dalam menjalankan misinya sehingga ia disebut gerakan
pembaharuan dalam Islam.6
tetapi metode yang digunakan Muhammadiyah dalam merumuskan konsep
pembaharuan pemikirannya. Dengan mengkaji metodologi pemikiran ini
diharapkan dapat diketahui bagaimana cara Muhammadiyah merespons
masalah-masalah yang dihadapi dan bagaimana metode berfikirnya.
- Dinamika Pemikiran Nahdlotu Ulama (NU) dan Muhammadiyah
1. Dinamika Pemikiran Nahdlotu Ulama (NU)
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah,
tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas
empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu
seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih mengikuti satu mazhab:Syafi'i meskipun mengakui tiga madzhab yang lain: Hanafi, Maliki, Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984,
merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah
wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang
fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara.
Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan
dinamika sosial dalam NU.
- Basis pendukung
Dalam
menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang
perlu diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim
tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan
dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen
resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada
upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun untuk mengelola
keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara
melihatnya. Dari segi politik, ini bisa dilihat dari jumlah perolehan
suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti
PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Dari segi paham
keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan
mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil
penelitian Saiful Mujani (2002) yiatu berkisar 48% dari Muslim santri
Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009)
memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat
dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Sedangkan jumlah
Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka
yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu
mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan
sumatra. Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai profesi beragam
yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota
maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara
sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat
menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki
ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan
rakyat dan cagar budaya NU.
Basis
pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan
perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang
bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis
NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh
di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem
pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan
dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini
NU sudah memiliku sejumlah Doktor atau Master dalam berbagai bidang
ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri,
termasuk negara-negara Barat. Hanya saja para Doktor dan Master ini
belum dimamfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di
setiap lapisan kepengurusan NU.
NU
di kabupaten temanggung bermula dari para pengikut Toriqoh
Naqshobandoyah yang berpusat di sokaraja banyumas kebetulan wilayah
temanggung termasuk konsul banyumas yang diketuai oleh raden muhtar.kota
parakan mulanya dijadikan cabang mengingat badal toriqoh sukaraja
berpusat di parakan.
- Usaha Organisasi
a. Di
bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa
persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
b. Di
bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan
nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur,
berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga
Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah
khususnya di Pulau Jawa.
c. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
d. Di
bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati
hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal
ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah
terbukti membantu masyarakat.
e. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat..7
- Prospektif Aswaja NU
Diskursus Aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup mengagetkan kalangan ulama
tua. Doktrin Aswaja NU selama ini dinilai sebagai sesuatu yang final
dan haram hukumnya diperdebatkan eksistensinya. Secara mengejutkan,
muncul pemikiran baru tentang perlunya rekonstruksi rumusan Aswaja NU
untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran dalam bidang keagamaan yang
melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi fiqhiyyah Aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive
dalam menghadapi perubahan sosial. Akan tetapi lain halnya, bila
menelusuri doktrin Aswaja NU dalam bidang teologis, yang di dalamnya
tidak luntur sebagaimana konstruksi fiqh.
Salah satu rekonstruksi Aswaja adalah pandangan bahwa doktrin Aswaja harus dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau
sebagai metotologi berfikir, bukan Aswaja sebagai mazhab apalagi produk
Mazhab. Ini artinya, berpaham Aswaja berarti bersikap dengan
menggunakan Manhaj Tawasuth.8 Dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara wahyu (nash) dan rasio (al-ra’yu).
Metode seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat
serta generasi berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial.
Sikap lain yang ditunjukkan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras (tatharruf),
tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka tidak
segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Sedangkan dalam
kehidupan sosial bermasyarakat, Aswaja mempunyai sikap toleran (tasamuh) yang tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap umat lain saling menghargai.
Lebih
menarik, bila mengamati Aswaja dalam NU. Terminologi Aswaja masih
memungkinkan memerlukan reinterpretasi (penafsiran ulang). Hal ini
karena rumusan baku Aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun asasi (UUD)
NU pun belum ada penjelasan yang mendasar mengenai rumusan Aswaja. Di
dalamnya, KH. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan Madzahibul Arba’ah (bukan salah satu dari empat mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar warga NU yang heterogen wacana pemikirannya tidak ta’asub.9
Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut, yang tidak bisa
menerima tawaran pemikiran baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal itu
masih merupakan wilayah ijtihadiyah, sehingga mungkin saja
dibenarkan jika kalangan NU itu sendiri melakukan reinterpretasi
terhadap teks-teks Aswaja yang ada. Selama ini orang NU berpendapat
bahwa berhaluan Aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar,
mendirikan madrasah, mengelola ziarah kemakam para ulama terdahulu,
seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di
pulau Jawa, tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan
dalam menjalin hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan
sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya. Hal inilah yang
menunjukkan bahwa Aswaja sangat prospektif, tidak mati karena
perkembangan zaman.10
Pemikir-pemikir
liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap perkembangan
pemikiran NU di daerah yang tidak saja di dominasi oleh pemikiran
kiai-ulama sepuh, tetapi gerak langkah tokoh muda NU menghiasi wacana baru yang lebih progresif.
Menanggapi fenomena di atas,
sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era mendatang dan kiranya
perlu kesiapan mental menguasai elite NU agar dinamika pemikiran mereka
tidak dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut langit di
awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang selalu
berpegang kuat pada senjata akomodatif terhadap perkembangan baru yang
lebih baik.
2. Dinamika Pemikiran Muhammadiyah
- Dinamika Pemikiran Muhammadiyah
Ditinjau dari perspektif sejarah menurut Kuntowijoyo, dinamika Muhammadiyah dapat dipilah menjadi dua periode. Pertama;
periode awal perkembangannya yang merupakan dinamika kualitatif yaitu
fase pembentukan doktrin yang sarat dengan kegiatan ijtihad dan tajdid, kedua;
periode berikutnya yang berjalan sampai sekarang merupakan dinamika
kuantitatif yaitu fase pelaksanaan doktrin atau tahap mewujudkan
cita-cita awalnya, sehingga seakan-akan tugas sejarah Muhammadiyah di
bidang tajdid sudah selesai.11
Terlepas
dari sejauh mana kebenaran kritik tersebut, namun kenyataan bahwa
selama periode kedua yaitu masa pelaksanaan doktrin banyak produk-produk
pemikiran Muhammadiyah yang dapat mengantarkan perkembangan
Muhammadiyah sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode
kedua juga terjadi dinamika pemikiran Muhammadiyah. Pemikiran tersebut
tentu tidak terlepas dari tantangan dan perubahan sosial yang dihadapi
pada masanya, sebagaimana dikatakan Emile Durkheim bahwa pemikiran agama
dan pemikiran ilmiah ditentukan oleh kondisi yang mencerminkan tipe
struktur sosial di mana pemikiran-pemikiran itu muncul.12
Bertolak
dari pemilahan periode dinamika Muhammadiyah menurut Kuntowijoyo,
makalah ini hanya akan mengkaji metodologi pemikiran Muhammadiyah dalam
kedua periode tersebut melalui pemikiran resmi yang berupa
keputusan-keputusan organisasi, kecuali pemikiran KHA. Dahlan akan
dilihat pemikiran individualnya karena beliau sebagai pendirinya dan
peletak doktrin pembaharuannya.
- Metodologi Pemikiran Muhammadiyah Masa Peletakan Doktrin
Untuk
membicarakan pemikiran yang melandasi sebuah gerakan seperti
Muhammadiyah, tidak mungkin tanpa membahas pemikiran pendirinya yaitu
KHA. Dahlan. Dari berbagai penelitian tentang KHA. Dahlan hampir
semuanya sepakat bahwa pemikirannya tidak dapat dipisahkan dari ide-ide
pembaharuan yang berkembang pada akhir abad 19, seperti Jamaluddin
Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo. Namun di bidang teologi,
menurut Arbiyah Lubis, teologi Muhammadiyah tidak ada persamaannya
dengan teologi Muhammad Abduh.13
Sedang Muhammad Abduh qodariyah. Dalam memahami akidah Muhammadiyah
menerapkan metode salaf, yang menolak campur tangan akal, sedang
Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan Muktazilah yang banyak
menggunakan akal.14
Dikaitkan
dengan teologi konvensional seperti kajian Arbiyah Lubis di atas,
tampak Muhammadiyah kurang memiliki bobot pembaharuan pemikiran Islam
karena ciri pemikiran modern ialah rasional dan tidak fatalistis
sebagaimana faham jabariyah. Kalau demikian di mana letak pembaharuan
pemikiran Muhammadiyah, hal ini perlu dilacak dari orientasi pemikiran
keagamaan Muhammadiyah.
Muhammadiyah
pada masa peletakan doktrin memang tidak banyak menonjolkan pembicaraan
tentang masalah teologi, dan mencukupkan diri dengan pemikiran yang
sudah lazim pada masanya, yaitu pemikiran Ahlu al- sunnah wa al-jama’ah atau lebih spesifik teologi Asy’ariyah.
Pemikirannya banyak ditujukan pada masalah-masalah fungsi agama dalam
konteks sosio-kultural, sedang masalah ketuhanan yang tidak berakibat
langsung dan praktis bagi amaliyah dan kesejahteraan sosial kurang
mendapatkan perhatian.
Pemikiran agama menurut Muhammadiyah yang memiliki implikasi sosial cukup besar ialah pemurnian agama (purifikasi)
di bidang akidah dan amaliah. Hal ini tercermin dalam pengajaran KHA.
Dahlan tentang tafsir Al-Quran yang dirangkum oleh K.R.H. Hadjid dalam“ Ajaran KHA. Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran”.
17
ayat Al-Quran tersebut menurut K.R.H. Hadjid sangat menjadi perhatian
KHA. Dahlan, terbukti dalam mengajarkannya selalu diulang-ulang sampai
para santri faham benar, meyakini, dan bersedia mengamalkannya. Esensi
dari ajaran ke 17 ayat tersebut dapat disimpulkan meliputi ;
(1).
Pemurnian akidah dengan membersihkan pribadi dari hawa nafsu yang hanya
mengikuti kebiasaan yang ada pada diri sendiri, dalam keluarga, dan
dalam masyarakat. Karena kebiasaan itu tidak sesuai dengan Al-Quran dan
Sunnah, maka harus ditinggalkan dan kembali pada Al-Quran dan Sunnah,
(2). Kepedulian sosial sebagai inti implementasi akidah yang benar, (3).
Dakwah amar makruf nahi munkar, dan (4). Jihad fi sabilillah dengan
jiwa, raga dan harta.
Contoh
lain tentang metode berfikir KHA.Dahlan ialah pelajaran tafsir surat
al-Ma’un dan surat al-Taubah ayat 34. Dengan metode berfikir yang sama
dengan waktu mengajarkan surat al-Jatsiyah 23 di atas akhirnya
KHA.Dahlan menekankan makna beragama Islam tidak cukup hanya melakukan
ibadah ritual tetapi harus diwujudkan dalam amal nyata dengan orientasi
sikap peduli sosial.15
Dengan
cara pengajaran demikian menunjukkan bahwa orientasi pemikiran
keagamaannya ialah orientasi fungsional artinya ajaran Islam hanya akan
berarti apabila dapat berfungsi membawa kesejahteraan sosial atau lebih
luas rahmatan li al- alamin. Orientasi pemikiran keagamaan semacam ini
menunjukkan bahwa KHA. Dahlan telah melakukan rekonstruksi pemikiran
keagamaan dari simbolik- spiritualistik dan mistis ke substantif (agama
yang syari’atnya dilaksanakan secara konsekuen).16 Sesuai dengan risalah Islam yakni terwujudnya rahmatan li al-alamin,
dan kalau dikaitkan dengan teori van Peursen , pemikiran keagamaan
KHA.Dahlan dalam konteks budaya sudah meninggalkan pemikiran mitis dan
sudah memasuki tahap pemikiran fungsional, sebagai ciri pemikiran
masyarakat modern.17
Namun sementara pengamat lebih cenderung memberi predikat Muhammadiyah
sebagai gerakan amal (praktis) dari pada gerakan pemikiran karena
langkanya produk tertulis dari KHA. Dahlan. Dalam hal ini Alfian tidak
menyebut sebagai gerakan amal atau gerakan pemikiran, tetapi Ijtihad
KHA. Dahlan dalam masalah-masalah keagamaan memang cenderung pragmatis.
Menurutnya, dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan, tindakan yang
langsung dan kongkret harus dinomorsatukan di atas pemikiran teoritis
atau filosofis. Oleh karena itu, langkanya karya tulis Dahlan adalah
konsekuensi logis dari pragmatismenya.18
- Metodologi Pemikiran Muhammadiyah Masa Pelaksanaan Doktrin
Untuk
membahas metodologi pemikiran Muhammadiyah masa pelaksanaan doktrin
hanya akan menggunakan satu contoh produk pemikiran Muhammadiyah yaitu
tentang “ Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah “, yang merupakan hasil
rumusan Ki Bagus Hadikusuma pada tahun 1945 dan baru disahkan dan
ditetapkan dalam muktamar Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta tahun 1950.
Sejak
pendirian Muhammadiyah (KHA.Dahlan) sampai tahun 1945 pokok-pokok
pikiran Muhammadiyah yang melandasi gerakan pembaharuannya belum
tersusun secara sistematis. Ki Bagus Hadikusumo, yang waktu itu menjabat
sebagai ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1942-1953) menghadapi situsi
perubahan sosial yang sangat mendasar berkenaan dengan masa transisi
menuju kemerdekaan RI tahun 1945, terpanggil untuk menyusun rumusan
pokok-pokok pikiran Muhammadiyah sebagai pedoman persyarikatan.
Situasi
yang dihadapi Muhammadiyah pada masa pendudukan Jepang, menjelang
kemerdekaan, yang sangat menjadi kerihatinan Muhammadiyah ialah
intervensi penguasa Jepang dalam masalah kehidupan beragama umat Islam,
yakni peraturan yang mengharuskan seluruh rakyat Indonesia memberi
penghormatan kepada Tenno Haika dengan melakukan “ Seinkerei “(semacam
ruku’ dalam salat).19
Usaha
kultural semacam itu berhasil menyelamatkan akidah umat Islam, terbukti
akhirnya peraturan Seinkerei itu tidak jadi diberlakukan . Namun
Muhammadiyah memandang bahwa mulai saat itu ada gejala pergeseran nilai
di kalangan warga Muhammadiyah sendiri . Menurut analisa Djindar Tamimi
kemungkinan karena dipengaruhi oleh dorongan sikap materialistis dan
kuatnya pengaruh luar yang tidak sesuai dengan jiwa Muhammadiyah.20
Di
samping itu kemungkinan juga karena wilayah Muhammadiyah semakin luas
dan banyak anggota dan simpatisan yang semakin jauh mereka dari sumber
gagasan dan spirit Muhammadiyah, sehingga wajar apabila terjadi
kekaburan penghayatan terhadap dasar-dasar pokok yang mendorong
KHA.Dahlan dalam menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah.
- Konflik Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Dialektika
Muhammadiyah dan NU dalam sejarah politik Islam di Indonesia, dapat
dirunut, paling tidak, sejak lahir tahun 1930-an, melalui MIAI (Majelis
Islam A,la Indonesia), sebuah federasi untuk membina kerja sama berbagai
organisasi Islam. Kompetisi dan konstelasi kedua tradisi Islam ini,
sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, tampak dari rivalitas keduanya dalam
Masyumi sepanjang tahun 1945-1952 dan di PPP sepanjang tahun 1973-1984,
respon terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta respons terhadap
rezim Orba. Belum lagi persaingan dalam memperebutkan berbagai jabatan
politik. Karena itu, dapat dimengerti bila persaingan ini pada akhirnya
juga merambah bidang lain, termasuk pendekatan dalam mengembangkan civil society.21
Motivasi
kalangan modernis agar bisa terakomodasi dalam proses pembangunan Orba
seperti ini menyebabkan mereka mengembangkan civil society dengan
pendekatan Hegelian, yang memiliki ciri (1) lebih menekankan fungsi
komplementatif dan suplementatif. Dengan cirri seperti ini, sipil
society berfungsi melaksanakan sebagian peran-peran negara. (2)
Menekankan pentingnya kelas menengah. Tentu saja kelas menengah yang
sedikit banyak bergantung kepada state. Karena sebagaimana lazimnya
negara dunia ketiga yang sedang berkembang, state memegang peranan
penting dalam seluruh sektor kehidupan.
Pendekatan
Hegelian seperti diadopsi oleh Muhammadiyah ini, mendapat kritik tajam
dari Alexis de Tocqueville. Ini disebabkan, karena dalam pemikiran
Hegel, posisi negara dianggap sebagai standar terakhir. Seolah-olah,
hanya pada dataran negara sajalah politik bisa berlangsung secara murni
dan utuh, sehingga posisi dominan negara bermakna positif. Dengan
demikian civil society akan kehilangan dimensi politik dan tergantung
manipulasi dan intervensi negara. Pendekatan Tocquevellian yang diadopsi
NU, menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing
terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasi-organisasi
independen di masyarakat dan pencangkokkan civic culture untuk membangun
budaya demokratis. Pendekatan Tocquevellian ini digunakan karena
sepanjang dua dasawarsa awal Orba, NU tidak memperoleh tempat dalam
proses-proses politik. Marginalisasi politik ini, disebabkan karena
rezim Orba hanya mengakomodasi kelompok Islam yang mendukung
modernisasi, dan itu didapat dari kalangan modernis yang sudah lebih
dulu melakukan pembaruan pemikiran politik Islam. Selain itu, tentu
saja, akibat rivalitas dengan kalangan modernis yang menjadi kelompok
dominan di PPP. Dengan demikian, dapat dimengerti jika sejak muktamar
1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali khitah 1926, dan mengundurkan
diri dari politik praktis, yang secara otomatis menarik dukungan dari
PPP.
Dengan motivasi seperti itu, maka sejak akhir dasawarsa 1980-an, aktivis NU banyak diarahkan pada penciptaan free public sphere,
tempat dimana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat
secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan dengan cara advokasi
masyarakat kelas bawah, dan penguatan LSM. Mereka meyakini, civil
society hanya bisa dibangun jika masyarakat memiliki kemandirian dalam
arti seutuhnya, serta terhindar dari jaring intervensi dan kooptasi
negara. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati kiprah NU sejak awal
dasawarsa 1990-an.22
- Salah Satu Contoh Konflik Hukum Syar’i Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Permasalahan
yang sampai sekarang selalu muncul dalam tubuh tubuh umat Islam di
Indonesia (terutama organisasi keagamaan di Indonesia, yaitu NU dan
Muhammadiyah) adalah qunut dalam shalat. Oleh karenanya dengan adanya
penelitian ini diharapkan akan dapat melihat akar permasalahan dari
polemik tersebut. Dengan pendekatan komparatif, penulis berusaha
memaparkan dan membandingkan antara keduanya, berkaitan dengan
pengertian sampai pada pelaksanaan qunut dalam shalat.
Qunut
menurut NU secara etimologi mempunyai beberapa makna, yaitu qunut
mempunyai arti doa, khusyu', ibadah, taat, pengakuan ibadah,
melaksanakan ibadah, diam, mengerjakan shalat dengan lama, melanggengkan
taat.23
Sedangkan menurut syarak yaitu doa tertentu yang dibaca dalam shalat
dan masih dalam keadaan berdiri. Qunut adalah do'a yaitu do'a yang
dikerjakan secara khusuk ketika melakukan ibadah atau shalat yang
dilakukan dalam keadaan berdiri setelah rukuk sebagai ibadah kepada
Allah SWT.24
Qunut
dalam pandangan Muhamadiyah yaitu qunut yang berarti berdiri lama dalam
shalat dengan membaca ayat al-qur'an dan berdo'a sekehendak hati.
Penulis dalam hal ini, dapat mengambil pengertian bahwa definisi qunut
menurut Muhamadiyah adalah berdiri lama dalam shalat untuk berdo'a atau
membaca ayat al-Qur'an.
Persamaan
yang dapat diambil dari permasalahan qunut menurut NU dan Muhamadiyah
adalah dalam pengambilan suatu hukum didasarkan pada al-Qur'an dan
Sunnah, begitupun dalam masalah qunut tidak ada satu hukum yang digali
oleh seorang mujtahid kecuali bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah.
Perbedaan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah pembagian qunut dalam tiga macam. Di antaranya: Pertama, qunut subuh dalam NU berarti membaca doa qunut dalam shalat subuh sepanjang tahun sedangkan menurut Muhamadiyah adalah berdiri sementara pada shalat subuh, sesudah ruku' pada rekaat kedua dengan membaca doa allahumah dini fiiman hadait dan seterusnya.
Perbedaan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah pembagian qunut dalam tiga macam. Di antaranya: Pertama, qunut subuh dalam NU berarti membaca doa qunut dalam shalat subuh sepanjang tahun sedangkan menurut Muhamadiyah adalah berdiri sementara pada shalat subuh, sesudah ruku' pada rekaat kedua dengan membaca doa allahumah dini fiiman hadait dan seterusnya.
Kedua,
Qunut nazilah dalam NU adalah qunut yang dibaca ketika terjadi becana
atau musibah dan disunahkan membaca qunut nazilah dalam shalat fardlu,
sedangkan menurut Muhamadiyah qunut nazilah menurut riwayat hadits tidak
boleh diamalkan, boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kutukan dan
permohonan pembalasan terhadap perorangan. Ketiga, qunut witir
menurut NU yang disertakan dalam shalat witir yaitu yang dikerjakan pada
tanggal 16 ke atas dalam bulan Ramadhan, sedangkan dalam Muhamadiyah
masih dalam perselisihan oleh ahli-ahli hadits.25
NU
dan Muhammadiyah sebenarnya sama-sama berdasarkan Al-qur'an dan Hadist.
Persoalan yang membedakan mereka adalah cara-nya mencapai Dasar hukum
Al-qur'an dan Hadist itu. Semisal; Kalau Muhammadiyah mengambil dasar
hukum didahului dengan melihat Al-qur'an dan Hadist dulu, apakah ada
dalilnya.. kalau tidak ada barulah menkaji dan menganalogikan dengan
dalil yang dekat dengan persoalan itu. Berbeda dengan NU, Kalau ada
persoalan di kaji dulu masalah itu dan kemudian dicari dalil hukumnya
dari berbagai tokoh ulama atau kyai, baru kemudian dilihat ke Al-qur'an
atau Hadist, tetapi kalau di buku-buku karangan kyai atau Ulama sudah
cukup kadang tidak terus mencari Al-qur’an dan Hadist.26
Kalau
secara pergaulan dan cara kesaharian orang-orang NU dan Muhammadiyah,
NU lebih terkesan tradisional dan Muhammadiyah terkesan Modern, secara
organisatoris.
Muhammadiyah lebih banyak hidup dan besar di kota-kota, dan banyak membuat Amal Usaha27 seperti:
1. Pendidikan diantaranya: Sekolah Modern baik ditingkat TK, SD, MI, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
2. Kesehatan: Rumah Sakit, Balai Pengobadan, Poliklinik, RUmah bersalin, Apotik daan lainya.
3. Keuangan dan Ekonomi diantaranya BMT, Bank Syariah, Amal Usaha Ekonomi, Koperasi.
4. Sosial diantaranya Lembaga DIskusi dan lain sebagainya
Sedangkan
NU lebih berkembang di Desa, dan banyak membuat Amal Usaha Pendidikan
seperti Pondok pesantren, Sekolah MI, Asrama-asrama santri, Koperasi
Santri dan Usaha amal Usaha lain.28
- Table Ritualisasi Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah dalam kehidupan yang bersifat Ubudiyah sehari-hari
No.
|
Ritualisasi
|
Nahdlatul Ulama
|
Muhammadiyah
|
01.
|
Qunut pada Sholat Subuh
|
Menggunakan
|
Tidak menggunakan
|
02.
|
Pujian pada adzanaini
|
Menggunakan
|
Tidak Menggunakan
|
03.
|
Roka’at Sholat Tarawih
|
21 Roka’at
|
8 Roka’at
|
04.
|
Tahlilan
|
Melaksanakan
|
Tidak
|
05.
|
Dzikir ba’da sholat
|
Jaher
|
Hamz
|
06.
|
Selamatan (Kenduri)
|
Melaksanakan
|
Tidak
|
07.
|
Diba’iyah/al-barjanji
|
Melaksanakan
|
Tidak
|
C. Kesimpulan
Sesungguhnya
tidak ada satu pun prinsip di dalam ormas Nahdhatul Ulama dan ormas
Muhammadiyah yang bertentangan. Keduanya justru saling menguatkan. Kalau
pun ada perbedaan pendapat, sama sekali bukan pada prinsip dan
AD/ART-nya, melainkan perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa, tapi
mengatas-namakan kedua ormas itu. Apalagi kalau dijadikan bahan
perbedaan masalah hukum agama atau khilafiyah. Sesungguhnya kedua ormas
itu sama sekali tidak pernah secara resmi menetapkan garis fiqih mereka,
atau detail pendapat mereka. Apa yang dikeluarkan oleh masing-masing
ulama mereka, lebih merupakan hal yang tidak mengikat kepada anggotanya,
tetapi lebih merupakan ijtihad masing-masing tokoh yang bersifat
pilihan.
Muhammadiyah
dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi
politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan
sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya
kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada
mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok,
menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar.
Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun
wacana keagamaan.
Tidak
pernah ada anggota Nahdhatul Ulama yang gugur keanggotaannya hanya
lantaran dia berpendapat bahwa qunut shalat shubuh itu bid’ah.
Sebaliknya, tidak ada anggota Muhammadiyah yang dikeluarkan gara-gara
dia lebih merajihkan pendapat tentang kesunnahan shalat shubuh. Apalagi
kalau kita mengingat bahwa perbedaan pendapat itu sebenarnya bukan hak
paten masing-masing ormas. Juga bukan trade mark yang unik dan
membedakan jati dirinya.
D. Daftar Pustaka
Alfian, Muhammadiyah, The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under The Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gajahmada Press, 1969.
As Syafi’i, Muhammad Idris, Al Risalah, (ed) Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H.
As-Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Aziz, Moh Ali, “ Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”, Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur, Surabaya, 2001.
Bruinessen, Martin van, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS, 1994.
Benda, Herry J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980.
Benda, Herri J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Ca. Van Peursen, Strategi Kebudayan, Terjemah Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Durkheim, Emile, On Morality and Sociology , pengantar Robert N Bellah, Chicago University Press, 1973.
Falah, M. Fajrul, Jamiyyah NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH. Darwis (ed.) Yogyakarta: LkiS, 1994.
Hamzah Wiryosukarto, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember : UNMUH, 1985.
Hidayat, Kamarudin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta : Paramadina, 1996.
Hadikusumo, Djarnawi, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA. Dahlan, Yogyakarta: Persatuan, tt.
Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran, Semarang: PWM. Jawa Tengah , tt.
Ismail, Faisal, Islam Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah,Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Unterpretasi Untuk Aksi, Bandung : Mizan,1993.
---------------, Islam dan Budaya Lokal, dalam Berita Resmi Muhammadiyah no. 08/1995-2000, Nopember 1996.
Lubis, Arbiyah, Pemkiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
Materi
Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem Pengambilan
Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil (Jakarta:
Sekjen PBNU, 1002).
Qodir, Zuly,. “Mempersempit Jarak Muhammdiyah dan NU”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
Sukidi,. “Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama”. Jakarta: Artikel Kompas, 17 Juni 2001.
Sumartana, dkk., Pluaralisme,konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yokyakarta: Dian Interfiedi, 2001.
Tamimy, Djindar, Penjelasan Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Yogyakarta: Sekretariat P. Muhammadiyah, 1970.
Van, Peursen, Strategi Kebudayaan, Terjemahan Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
1 Muhammadiyah
dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang ada di Negeri ini.
Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa ditengah masyarakat,
meski berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi
ciri khas kedua ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui
masyarakat, bukan saja didalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Sukidi,. “Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama”. Jakarta: Artikel Kompas, 17 Juni 2001.
2 Th. Sumartana, dkk. Pluaralisme,konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia ( Yokyakarta:Dian Interfiedi 2001), 81-83.
3
Bahkan seorang Ben Anderson (pakar studi tentang Indonesia dari
Amerika) mengeluhkan sedikitnya perhatian ilmiah yang diberikan pada NU.
Padahal NU yang dianggap sebagai simbol Islam tradisionalis,
menurutnya, memainkan peran signifikan dalam berbagai perubahan sosial
dan politik di Indonesia. U. Tanthowi, Pramono, “Muhammadiyah dan NU dalam Kompetisi Makna Civil Society”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
4 Moh Ali Aziz, “ Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”, Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur, (Surabaya, 2001), 6.
5
yaitu era perjuangan melawan kolonialisme, era kemerdekaan, era
transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, era pembangunan bangsa dengan
pengukuhan Pancasila sebagai asas tunggal berbangsa dan bernegara, dan
ke lima masa peralihan dari Orde Baru ke era reformasi. Faisal Ismail, Islam Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 185-186.
6
Dimaksud mekanisme kerja pembaharuan pemikiran tersebut dalam makalah
ini ialah metodologi berfikir yang telah dilakukan Muhammadiyah dan yang
telah menghasilkan produk pemikiran, baik berupa keputusan resmi
organisasi melalui muktamar atau majlis-majlisnya, maupun pemikiran
tidak resmi namun cukup populer di kalangan Muhammadiyah, misalnya
anjuran KHA.Dahlan “dadiyo kiyai sing kemajuan” (jadilah kiyai/
ulama’ yang berpandangan maju). Dimaksud metodologi di sini berbeda
dengan metode ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah dalam masalah fikih
sebagaimana ditulis oleh Fatkhurrahman Djamil dalam disertasinya yang
dalam analisanya berdasarkan kerangka ilmu ushul fikih. Lihat Fatkhurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, ( Jakarta, Logos, 1995 ) hlm.10.
7 K.H. sholahudin Wahid, Intervew di Ponpes Tebu Ireng Jombang-Jawa Timur, 6 Maret 2010
8 yaitu bersikap ditengah-tengah antara pemahaman tektual dengan rasionalisme, bersikap dengan Manhaj Tawazun, berarti berpandangan keagamaan yang berusaha mengembangkan, sikap moderat Aswaja tercermin pada metode pengambilan hukum (istimbat) yang tidak semata-mata menggunakan nash,
namun juga memperhatikan posisi akal. M. Fajrul Falah, Jamiyyah NU
Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH.
Darwis (ed.) (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 170
9
Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem
Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil
(Jakarta: Sekjen PBNU, 1002), hal. 3-4
10
Abi Ishaq as-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor
Abdullah Darras (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Juz I, hal. 10 dan Juz II,
hal. 2.
11
Itulah barangkali yang mendorong munculnya kritik terhadap muhammadiyah
baik kritik internal dari warga Muhammadiyah sendiri maupun eksternal.
Di antara kritik yang cukup mendasar adalah hilangnya elan organisasi
besar ini karena terjebak ke dalam rutinisme. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Unterpretasi Untuk Aksi, ( Bandung : Mizan,1993 ) hlm.192-193.
12
Perbedaan tantangan dan struktur sosial yang dihadapi antara periode
awal dan periode kedua dimungkinkan terjadinya perbedaan pemikiran,
termasuk metode berfikirnya, yang menurut Kuntowijoyo periode kedua
lebih berorientasi ke pelaksanaan doktrin, sehingga bobot ketajdidannya
mungkin menjadi kurang. Emile Durkheim, On Morality and Sociology , pengantar Robert N Bellah (Chicago University Press, 1973 ) p. 91.
13
Perbedaan yang pokok terletak pada dua hal: paham dasar yang dianut dan
metode dalam memahami akidah. Muhammadiyah menganut Jabbariyah, Periksa Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah bab Qada’ dan Qadar.
14 Arbiyah Lubis, Pemkiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1993)hlm. 183
15
Dalam mengajarkan tafsir Al-quran beliau menerangkan bagaimana cara
mempelajari Al-Quran yaitu: (1) Bagaimana artinya, (2) Bagaimana
tafsirnya, (3) Bagaimana maksudnya, (4) Apakah ini larangan dan kamu
sudah meninggalkan, (5) Apakah ini perintah yang wajib dikerjakan?,
sudahkan kita menjalankan?, bilamana belum dapat menjalankan dengan
sesungguhnya, maka tidak perlu membaca ayat-ayat yang lainnya. K.R.H.Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran, (Semarang : PWM. Jawa Tengah , tt) hlm. 21 dan 24.
16 Kuntowijoyo , Islam dan Budaya Lokal, dalam Berita Resmi Muhammadiyah no. 08/1995-2000, Nopember 1996, hlm. 47
17 Menurut van Peursen ada tiga tahapan pemikiran yaitu tahap mitis, ontologis , dan fungsional . Periksa Ca. van Peursen , Strategi Kebudayan, Terjemah Dick Hartoko, ( Yogyakarta : Kanisius, 1988 ) hlm. 18
18 Alfian , Muhammadiyah, The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under The Dutch Colonialism, ( Yogyakarta : Gajahmada Press, 1969) hlm. 150
19 Muhammadiyah dibawah pimpinan Ki Bagus Hadikusumo memutuskan bahwa melakukan Seinkerei hukumnya haram karena mendekati syirk, Djarnawi Hadikusumo, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA. Dahlan ,( Yogyakarta : Persatuan, tt ) hlm. 96
20 Djindar Tamimy, Penjelasan Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ,( Yogyakarta : Sekretariat P. Muhammadiyah , 1970 ) hlm. 2
21
Antagonisme politik yang terjadi antara Islam modernis dengan
pemerintah yang berlangsung sejak tahun 1960 (ketika Masyumi dipaksa
membubarkan diri oleh Presiden Soekarno), membuat kalangan modernis
mencoba mencari landasan teologis baru guna berpartisipasi dalam
“develomentalisme” Orba. Tahun 1971, dalam Muktamar di Ujung Pandang,
Muhammadiyah menyatakan tidak berafiliasi terhadap salah satu partai
politik manapun. Hal ini hampir bersamaan dengan wacana yang
dikembangkan generasi baru intelektual Islam, yang sejak dasawarsa
1970-an berusaha mengembangkan format politik baru yang lebih menekankan
aspek substansial. Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
22
Ketika kalangan Islam modernis terakomodasi dlam state (ICMI), Gus Dur
mendirikan forum demokrasi, dan aktivitas NU secara umum diarahkan untuk
menciptakan ruang publik diluar state dengan banyak bergerak dalam
LSM-LSM dan kelompok-kelompok studi. Inilah peran Gus Dur dan NU sebagai
kekuatan penyeimbang dan berhadapan vis-à-vis negara. Mereka ini pada
awalnya menjadikan Islam modernis yang terakomodasi dalam state sebagai
lahan kritik (Hikam:1999). Bagi mereka, modernisme tidak lagi dianggap
sebagai satu-satunya sumber gagasan kemajuan dan dipuja sebagai dewa
penyelamat bagi peradaban manusia. Karena modernisme itu sendiri
terbukti tidak mampu memenuhi janji-janji kemajuannya. Bahkan, dalam
beberapa hal, modernisme meninggalkan banyak petaka. Martin van
Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru
(Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. 30.
23 Muhammad Idris As Syafi’i, Al Risalah, editor Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H), hal. 20
24 Abi Ishaq as-Syatibi, …..Juz II, hal.
25
Dengan demikian permasalahan qunut dari keduanya ternyata dalam
pengambilan hukumnya adalah berangkat dari al-qur'an dan Hadits, dan
hasil dari takhrij hadits menunjukkan bahwa hadits yang digunakan dalam
penetapan qunut adalah shahih, sehingga kesemuanya diserahkan kepada
umat untuk menilai dan meyakini, mana yang dilakukan dan inilah rahmat.
26 Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
27 Amir Hamzah Wiryosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember : UNMUH , 1985, hlm. 65.
28 Ibid., 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar