Sabtu, 02 Juni 2012

Nahdatul Ulama - Muhammadiyah

Nahdatul Ulama - Muhammadiyah


A.    Pendahuluan
Pluralisme agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman: bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya? Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?.
Fakta sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta berbicara sebaliknya: pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih kuatnya “Hambatan Teologis” di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, eksklusif dan cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita adalah begaimana memecahkan “hambatan teologis” dikalangan umat beragama dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan.1
Sebagai organisasi terbesar di Indonesia, ternyata antara Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan.
Keberadaan Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) dalam sejarah Indonesia modern memang amat menarik. Sepanjang perjalanan kedua organisasi Islam terbesar ini, senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus konfrontasi. Membicarakan Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif. Sekedar contoh, Sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski bukan satu-satunya alasan.

B.     Pembahasan
  1. Latar Belakang eksistensi Nahdlotu Ulama (NU) dan Muhammadiyah
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh pesantren dan pelopor utamanya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri sekaligus pengasuh Pon Pes. Tebuireng – Jmbang pada tahun itu. Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat. Ini berarti NU adalah organisasi keagamaan yang secara  konstitusional membela dan mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel.2
Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah), NU merupakan bagian integral dari wacana pemikiran suni. Terlebih lagi, jika kita telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat erat dengan para ulama “Haramain” (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Usmani yang ketika itu berhaluan Aswaja.
Selama ini image masyarakat terhadap NU terlanjur miring dengan jargon sebagai kaum tradisionalis, kolot, irasional dan jumud (stagnan) dalam pemikiran. Tentu saja image tersebut tidak berdasar. Jika NU statis, bagaimana mungkin memiliki umat 35 juta yang tersebar di seluruh tanah air dan memiliki kredo (kaidah hukum) Al-Mukhafatdlatu ‘Ala Qadimish Shalih Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan nilai dan tradisi lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif terhadap nilai dan tradisi baru yang lebih baik).3
Keadaan agak tertolong, setelah NU secara yuridis menjustifikasikan satu keputusan monumental bagi reformasi secara kritis dan analitis dalam institusi tertinggi dibawah Muktamar yaitu Musyawarah Nasional Alim Ulama di Bandar Lampung pada tahun 1992.4 Dalam keputusan tersebut disepakati bahwa sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahsul Masail Diniyah (pembahasan masalah-masalah agama) bisa dilaksanakan dengan pola bermazhab secara qauli (tekstual) maupun manhaj (kontekstual). Hal ini memberikan kemungkinan untuk mengikuti manhaj, jalan pikiran dan kaidah hukum yang telah disusun oleh para Imam mazhab. Begitupun dalam bidang akidah, tidak mustahil terjadi pembaharuan pemikiran sepanjang sejalan dengan manhaj Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Pola berpikir semacam ini dapat diketahui pada pemikiran Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Syahrastani dan Al-Razi.
Sementara itu, Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA.Dahlan di Yogyakarta (1912), dalam perjalanan sejarahnya selama lebih dari 85 tahun telah menunjukkan kemampuannya menghadapi berbagai perubahan sosial tanpa kehilangan identitasnya sebagai gerakan Islam amar-makruf nahi-munkar. Setidak-tidaknya ada lima era perubahan sosial dan proses pembangunan bangsa yang telah dilalui oleh Muhammadiyah dengan relatif mulus.5
Muhammadiyah sejak kelahirannya dikenal sebagai gerakan pembaharu Islam dengan jargon-jargon ijtihad dan tajdidnya yang direalisasikan dalam bidang-bidang sosio-kultural dengan amal usaha di bidang pendidikan , sosial- kemasyarakatan dan kegiatan keagamaan. Karena sepanjang sejarahnya Muhammadiah lebih menonjol gerakannya di bidang amal usaha sosial dibandingkan dengan produk pemikiran keagamaannya, maka Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan amal (praksis) bukan sebagai gerakan pemikiran. Walaupun demikian karena apa yang telah dilakukan Muhammadiyah dengan dampak sosialnya yang begitu besar itu merupakan implementasi dari hasil ijtihadnya, maka dapat diasumsikan bahwa ada mekanisme kerja pembaharuan pemikiran keagamaan yang dilaksanakan Muhammadiyah dalam menjalankan misinya sehingga ia disebut gerakan pembaharuan dalam Islam.6 tetapi metode yang digunakan Muhammadiyah dalam merumuskan konsep pembaharuan pemikirannya. Dengan mengkaji metodologi pemikiran ini diharapkan dapat diketahui bagaimana cara Muhammadiyah merespons masalah-masalah yang dihadapi dan bagaimana metode berfikirnya.

  1. Dinamika Pemikiran Nahdlotu Ulama (NU) dan Muhammadiyah
1.      Dinamika Pemikiran Nahdlotu Ulama (NU)
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih mengikuti satu mazhab:Syafi'i meskipun mengakui tiga madzhab yang lain: Hanafi, Maliki, Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
-          Basis pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, ini bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Dari segi paham keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yiatu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Sedangkan jumlah Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU. Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra. Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai profesi beragam yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliku sejumlah Doktor atau Master dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Hanya saja para Doktor dan Master ini belum dimamfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
NU di kabupaten temanggung bermula dari para pengikut Toriqoh Naqshobandoyah yang berpusat di sokaraja banyumas kebetulan wilayah temanggung termasuk konsul banyumas yang diketuai oleh raden muhtar.kota parakan mulanya dijadikan cabang mengingat badal toriqoh sukaraja berpusat di parakan.
-          Usaha Organisasi
a.       Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
b.      Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
c.       Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
d.      Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
e.       Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat..7
-          Prospektif Aswaja NU
Diskursus Aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup mengagetkan kalangan ulama tua. Doktrin Aswaja NU selama ini dinilai sebagai sesuatu yang final dan haram hukumnya diperdebatkan eksistensinya. Secara mengejutkan, muncul pemikiran baru tentang perlunya rekonstruksi rumusan Aswaja NU untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran dalam bidang keagamaan yang melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi fiqhiyyah Aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive dalam menghadapi perubahan sosial. Akan tetapi lain halnya, bila menelusuri doktrin Aswaja NU dalam bidang teologis, yang di dalamnya tidak luntur sebagaimana konstruksi fiqh.
Salah satu rekonstruksi Aswaja adalah pandangan bahwa doktrin Aswaja harus dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau sebagai metotologi berfikir, bukan Aswaja sebagai mazhab apalagi produk Mazhab. Ini artinya, berpaham Aswaja berarti bersikap dengan menggunakan Manhaj Tawasuth.8 Dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara wahyu (nash) dan rasio (al-ra’yu). Metode seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat serta generasi berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial.
Sikap lain yang ditunjukkan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras (tatharruf), tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Sedangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, Aswaja mempunyai sikap toleran (tasamuh) yang tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap umat lain saling menghargai.
Lebih menarik, bila mengamati Aswaja dalam NU. Terminologi Aswaja masih memungkinkan memerlukan reinterpretasi (penafsiran ulang). Hal ini karena rumusan baku Aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun asasi (UUD) NU pun belum ada penjelasan yang mendasar mengenai rumusan Aswaja. Di dalamnya, KH. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan Madzahibul Arba’ah (bukan salah satu dari empat mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar warga NU yang heterogen wacana pemikirannya tidak ta’asub.9 Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut, yang tidak bisa menerima tawaran pemikiran baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal itu masih merupakan wilayah ijtihadiyah, sehingga mungkin saja dibenarkan jika kalangan NU itu sendiri melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks Aswaja yang ada. Selama ini orang NU berpendapat bahwa berhaluan Aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar, mendirikan madrasah, mengelola ziarah kemakam para ulama terdahulu, seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di pulau Jawa, tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan dalam menjalin hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya. Hal inilah yang menunjukkan bahwa Aswaja sangat prospektif, tidak mati karena perkembangan zaman.10
Pemikir-pemikir liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap perkembangan pemikiran NU di daerah yang tidak saja di dominasi oleh pemikiran kiai-ulama sepuh, tetapi gerak langkah tokoh muda NU menghiasi wacana baru yang lebih progresif.
Menanggapi fenomena di atas, sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era mendatang dan kiranya perlu kesiapan mental menguasai elite NU agar dinamika pemikiran mereka tidak dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut langit di awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang selalu berpegang kuat pada senjata akomodatif terhadap perkembangan baru yang lebih baik.

2.      Dinamika Pemikiran Muhammadiyah
-          Dinamika Pemikiran Muhammadiyah
Ditinjau dari perspektif sejarah menurut Kuntowijoyo, dinamika Muhammadiyah dapat dipilah menjadi dua periode. Pertama; periode awal perkembangannya yang merupakan dinamika kualitatif yaitu fase pembentukan doktrin yang sarat dengan kegiatan ijtihad dan tajdid, kedua; periode berikutnya yang berjalan sampai sekarang merupakan dinamika kuantitatif yaitu fase pelaksanaan doktrin atau tahap mewujudkan cita-cita awalnya, sehingga seakan-akan tugas sejarah Muhammadiyah di bidang tajdid sudah selesai.11
Terlepas dari sejauh mana kebenaran kritik tersebut, namun kenyataan bahwa selama periode kedua yaitu masa pelaksanaan doktrin banyak produk-produk pemikiran Muhammadiyah yang dapat mengantarkan perkembangan Muhammadiyah sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode kedua juga terjadi dinamika pemikiran Muhammadiyah. Pemikiran tersebut tentu tidak terlepas dari tantangan dan perubahan sosial yang dihadapi pada masanya, sebagaimana dikatakan Emile Durkheim bahwa pemikiran agama dan pemikiran ilmiah ditentukan oleh kondisi yang mencerminkan tipe struktur sosial di mana pemikiran-pemikiran itu muncul.12
Bertolak dari pemilahan periode dinamika Muhammadiyah menurut Kuntowijoyo, makalah ini hanya akan mengkaji metodologi pemikiran Muhammadiyah dalam kedua periode tersebut melalui pemikiran resmi yang berupa keputusan-keputusan organisasi, kecuali pemikiran KHA. Dahlan akan dilihat pemikiran individualnya karena beliau sebagai pendirinya dan peletak doktrin pembaharuannya.
-          Metodologi Pemikiran Muhammadiyah Masa Peletakan Doktrin
Untuk membicarakan pemikiran yang melandasi sebuah gerakan seperti Muhammadiyah, tidak mungkin tanpa membahas pemikiran pendirinya yaitu KHA. Dahlan. Dari berbagai penelitian tentang KHA. Dahlan hampir semuanya sepakat bahwa pemikirannya tidak dapat dipisahkan dari ide-ide pembaharuan yang berkembang pada akhir abad 19, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo. Namun di bidang teologi, menurut Arbiyah Lubis, teologi Muhammadiyah tidak ada persamaannya dengan teologi Muhammad Abduh.13 Sedang Muhammad Abduh qodariyah. Dalam memahami akidah Muhammadiyah menerapkan metode salaf, yang menolak campur tangan akal, sedang Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan Muktazilah yang banyak menggunakan akal.14
Dikaitkan dengan teologi konvensional seperti kajian Arbiyah Lubis di atas, tampak Muhammadiyah kurang memiliki bobot pembaharuan pemikiran Islam karena ciri pemikiran modern ialah rasional dan tidak fatalistis sebagaimana faham jabariyah. Kalau demikian di mana letak pembaharuan pemikiran Muhammadiyah, hal ini perlu dilacak dari orientasi pemikiran keagamaan Muhammadiyah.
Muhammadiyah pada masa peletakan doktrin memang tidak banyak menonjolkan pembicaraan tentang masalah teologi, dan mencukupkan diri dengan pemikiran yang sudah lazim pada masanya, yaitu pemikiran Ahlu al- sunnah wa al-jama’ah atau lebih spesifik teologi Asy’ariyah. Pemikirannya banyak ditujukan pada masalah-masalah fungsi agama dalam konteks sosio-kultural, sedang masalah ketuhanan yang tidak berakibat langsung dan praktis bagi amaliyah dan kesejahteraan sosial kurang mendapatkan perhatian.
Pemikiran agama menurut Muhammadiyah yang memiliki implikasi sosial cukup besar ialah pemurnian agama (purifikasi) di bidang akidah dan amaliah. Hal ini tercermin dalam pengajaran KHA. Dahlan tentang tafsir Al-Quran yang dirangkum oleh K.R.H. Hadjid dalam“ Ajaran KHA. Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran”.
17 ayat Al-Quran tersebut menurut K.R.H. Hadjid sangat menjadi perhatian KHA. Dahlan, terbukti dalam mengajarkannya selalu diulang-ulang sampai para santri faham benar, meyakini, dan bersedia mengamalkannya. Esensi dari ajaran ke 17 ayat tersebut dapat disimpulkan meliputi ;
(1). Pemurnian akidah dengan membersihkan pribadi dari hawa nafsu yang hanya mengikuti kebiasaan yang ada pada diri sendiri, dalam keluarga, dan dalam masyarakat. Karena kebiasaan itu tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, maka harus ditinggalkan dan kembali pada Al-Quran dan Sunnah, (2). Kepedulian sosial sebagai inti implementasi akidah yang benar, (3). Dakwah amar makruf nahi munkar, dan (4). Jihad fi sabilillah dengan jiwa, raga dan harta.
Contoh lain tentang metode berfikir KHA.Dahlan ialah pelajaran tafsir surat al-Ma’un dan surat al-Taubah ayat 34. Dengan metode berfikir yang sama dengan waktu mengajarkan surat al-Jatsiyah 23 di atas akhirnya KHA.Dahlan menekankan makna beragama Islam tidak cukup hanya melakukan ibadah ritual tetapi harus diwujudkan dalam amal nyata dengan orientasi sikap peduli sosial.15
Dengan cara pengajaran demikian menunjukkan bahwa orientasi pemikiran keagamaannya ialah orientasi fungsional artinya ajaran Islam hanya akan berarti apabila dapat berfungsi membawa kesejahteraan sosial atau lebih luas rahmatan li al- alamin. Orientasi pemikiran keagamaan semacam ini menunjukkan bahwa KHA. Dahlan telah melakukan rekonstruksi pemikiran keagamaan dari simbolik- spiritualistik dan mistis ke substantif (agama yang syari’atnya dilaksanakan secara konsekuen).16 Sesuai dengan risalah Islam yakni terwujudnya rahmatan li al-alamin, dan kalau dikaitkan dengan teori van Peursen , pemikiran keagamaan KHA.Dahlan dalam konteks budaya sudah meninggalkan pemikiran mitis dan sudah memasuki tahap pemikiran fungsional, sebagai ciri pemikiran masyarakat modern.17 Namun sementara pengamat lebih cenderung memberi predikat Muhammadiyah sebagai gerakan amal (praktis) dari pada gerakan pemikiran karena langkanya produk tertulis dari KHA. Dahlan. Dalam hal ini Alfian tidak menyebut sebagai gerakan amal atau gerakan pemikiran, tetapi Ijtihad KHA. Dahlan dalam masalah-masalah keagamaan memang cenderung pragmatis. Menurutnya, dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan, tindakan yang langsung dan kongkret harus dinomorsatukan di atas pemikiran teoritis atau filosofis. Oleh karena itu, langkanya karya tulis Dahlan adalah konsekuensi logis dari pragmatismenya.18
-          Metodologi Pemikiran Muhammadiyah Masa Pelaksanaan Doktrin
Untuk membahas metodologi pemikiran Muhammadiyah masa pelaksanaan doktrin hanya akan menggunakan satu contoh produk pemikiran Muhammadiyah yaitu tentang “ Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah “, yang merupakan hasil rumusan Ki Bagus Hadikusuma pada tahun 1945 dan baru disahkan dan ditetapkan dalam muktamar Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta tahun 1950.
Sejak pendirian Muhammadiyah (KHA.Dahlan) sampai tahun 1945 pokok-pokok pikiran Muhammadiyah yang melandasi gerakan pembaharuannya belum tersusun secara sistematis. Ki Bagus Hadikusumo, yang waktu itu menjabat sebagai ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1942-1953) menghadapi situsi perubahan sosial yang sangat mendasar berkenaan dengan masa transisi menuju kemerdekaan RI tahun 1945, terpanggil untuk menyusun rumusan pokok-pokok pikiran Muhammadiyah sebagai pedoman persyarikatan.
Situasi yang dihadapi Muhammadiyah pada masa pendudukan Jepang, menjelang kemerdekaan, yang sangat menjadi kerihatinan Muhammadiyah ialah intervensi penguasa Jepang dalam masalah kehidupan beragama umat Islam, yakni peraturan yang mengharuskan seluruh rakyat Indonesia memberi penghormatan kepada Tenno Haika dengan melakukan “ Seinkerei “(semacam ruku’ dalam salat).19
Usaha kultural semacam itu berhasil menyelamatkan akidah umat Islam, terbukti akhirnya peraturan Seinkerei itu tidak jadi diberlakukan . Namun Muhammadiyah memandang bahwa mulai saat itu ada gejala pergeseran nilai di kalangan warga Muhammadiyah sendiri . Menurut analisa Djindar Tamimi kemungkinan karena dipengaruhi oleh dorongan sikap materialistis dan kuatnya pengaruh luar yang tidak sesuai dengan jiwa Muhammadiyah.20
 Di samping itu kemungkinan juga karena wilayah Muhammadiyah semakin luas dan banyak anggota dan simpatisan yang semakin jauh mereka dari sumber gagasan dan spirit Muhammadiyah, sehingga wajar apabila terjadi kekaburan penghayatan terhadap dasar-dasar pokok yang mendorong KHA.Dahlan dalam menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah.

  1. Konflik Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Dialektika Muhammadiyah dan NU dalam sejarah politik Islam di Indonesia, dapat dirunut, paling tidak, sejak lahir tahun 1930-an, melalui MIAI (Majelis Islam A,la Indonesia), sebuah federasi untuk membina kerja sama berbagai organisasi Islam. Kompetisi dan konstelasi kedua tradisi Islam ini, sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, tampak dari rivalitas keduanya dalam Masyumi sepanjang tahun 1945-1952 dan di PPP sepanjang tahun 1973-1984, respon terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta respons terhadap rezim Orba. Belum lagi persaingan dalam memperebutkan berbagai jabatan politik. Karena itu, dapat dimengerti bila persaingan ini pada akhirnya juga merambah bidang lain, termasuk pendekatan dalam mengembangkan civil society.21
Motivasi kalangan modernis agar bisa terakomodasi dalam proses pembangunan Orba seperti ini menyebabkan mereka mengembangkan civil society dengan pendekatan Hegelian, yang memiliki ciri (1) lebih menekankan fungsi komplementatif dan suplementatif. Dengan cirri seperti ini, sipil society berfungsi melaksanakan sebagian peran-peran negara. (2) Menekankan pentingnya kelas menengah. Tentu saja kelas menengah yang sedikit banyak bergantung kepada state. Karena sebagaimana lazimnya negara dunia ketiga yang sedang berkembang, state memegang peranan penting dalam seluruh sektor kehidupan.
Pendekatan Hegelian seperti diadopsi oleh Muhammadiyah ini, mendapat kritik tajam dari Alexis de Tocqueville. Ini disebabkan, karena dalam pemikiran Hegel, posisi negara dianggap sebagai standar terakhir. Seolah-olah, hanya pada dataran negara sajalah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh, sehingga posisi dominan negara bermakna positif. Dengan demikian civil society akan kehilangan dimensi politik dan tergantung manipulasi dan intervensi negara. Pendekatan Tocquevellian yang diadopsi NU, menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasi-organisasi independen di masyarakat dan pencangkokkan civic culture untuk membangun budaya demokratis. Pendekatan Tocquevellian ini digunakan karena sepanjang dua dasawarsa awal Orba, NU tidak memperoleh tempat dalam proses-proses politik. Marginalisasi politik ini, disebabkan karena rezim Orba hanya mengakomodasi kelompok Islam yang mendukung modernisasi, dan itu didapat dari kalangan modernis yang sudah lebih dulu melakukan pembaruan pemikiran politik Islam. Selain itu, tentu saja, akibat rivalitas dengan kalangan modernis yang menjadi kelompok dominan di PPP. Dengan demikian, dapat dimengerti jika sejak muktamar 1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali khitah 1926, dan mengundurkan diri dari politik praktis, yang secara otomatis menarik dukungan dari PPP.
Dengan motivasi seperti itu, maka sejak akhir dasawarsa 1980-an, aktivis NU banyak diarahkan pada penciptaan free public sphere, tempat dimana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan dengan cara advokasi masyarakat kelas bawah, dan penguatan LSM. Mereka meyakini, civil society hanya bisa dibangun jika masyarakat memiliki kemandirian dalam arti seutuhnya, serta terhindar dari jaring intervensi dan kooptasi negara. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati kiprah NU sejak awal dasawarsa 1990-an.22
  1. Salah Satu Contoh Konflik Hukum Syar’i Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Permasalahan yang sampai sekarang selalu muncul dalam tubuh tubuh umat Islam di Indonesia (terutama organisasi keagamaan di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah) adalah qunut dalam shalat. Oleh karenanya dengan adanya penelitian ini diharapkan akan dapat melihat akar permasalahan dari polemik tersebut. Dengan pendekatan komparatif, penulis berusaha memaparkan dan membandingkan antara keduanya, berkaitan dengan pengertian sampai pada pelaksanaan qunut dalam shalat.
Qunut menurut NU secara etimologi mempunyai beberapa makna, yaitu qunut mempunyai arti doa, khusyu', ibadah, taat, pengakuan ibadah, melaksanakan ibadah, diam, mengerjakan shalat dengan lama, melanggengkan taat.23 Sedangkan menurut syarak yaitu doa tertentu yang dibaca dalam shalat dan masih dalam keadaan berdiri. Qunut adalah do'a yaitu do'a yang dikerjakan secara khusuk ketika melakukan ibadah atau shalat yang dilakukan dalam keadaan berdiri setelah rukuk sebagai ibadah kepada Allah SWT.24
Qunut dalam pandangan Muhamadiyah yaitu qunut yang berarti berdiri lama dalam shalat dengan membaca ayat al-qur'an dan berdo'a sekehendak hati. Penulis dalam hal ini, dapat mengambil pengertian bahwa definisi qunut menurut Muhamadiyah adalah berdiri lama dalam shalat untuk berdo'a atau membaca ayat al-Qur'an.
Persamaan yang dapat diambil dari permasalahan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah dalam pengambilan suatu hukum didasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah, begitupun dalam masalah qunut tidak ada satu hukum yang digali oleh seorang mujtahid kecuali bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah.
Perbedaan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah pembagian qunut dalam tiga macam. Di antaranya: Pertama, qunut subuh dalam NU berarti membaca doa qunut dalam shalat subuh sepanjang tahun sedangkan menurut Muhamadiyah adalah berdiri sementara pada shalat subuh, sesudah ruku' pada rekaat kedua dengan membaca doa allahumah dini fiiman hadait dan seterusnya.
Kedua, Qunut nazilah dalam NU adalah qunut yang dibaca ketika terjadi becana atau musibah dan disunahkan membaca qunut nazilah dalam shalat fardlu, sedangkan menurut Muhamadiyah qunut nazilah menurut riwayat hadits tidak boleh diamalkan, boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan. Ketiga, qunut witir menurut NU yang disertakan dalam shalat witir yaitu yang dikerjakan pada tanggal 16 ke atas dalam bulan Ramadhan, sedangkan dalam Muhamadiyah masih dalam perselisihan oleh ahli-ahli hadits.25
NU dan Muhammadiyah sebenarnya sama-sama berdasarkan Al-qur'an dan Hadist. Persoalan yang membedakan mereka adalah cara-nya mencapai Dasar hukum Al-qur'an dan Hadist itu. Semisal; Kalau Muhammadiyah mengambil dasar hukum didahului dengan melihat Al-qur'an dan Hadist dulu, apakah ada dalilnya.. kalau tidak ada barulah menkaji dan menganalogikan dengan dalil yang dekat dengan persoalan itu. Berbeda dengan NU, Kalau ada persoalan di kaji dulu masalah itu dan kemudian dicari dalil hukumnya dari berbagai tokoh ulama atau kyai, baru kemudian dilihat ke Al-qur'an atau Hadist, tetapi kalau di buku-buku karangan kyai atau Ulama sudah cukup kadang tidak terus mencari Al-qur’an dan Hadist.26
Kalau secara pergaulan dan cara kesaharian orang-orang NU dan Muhammadiyah, NU lebih terkesan tradisional dan Muhammadiyah terkesan Modern, secara organisatoris.
Muhammadiyah lebih banyak hidup dan besar di kota-kota, dan banyak membuat Amal Usaha27 seperti:
1.      Pendidikan diantaranya: Sekolah Modern baik ditingkat TK, SD, MI, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
2.      Kesehatan: Rumah Sakit, Balai Pengobadan, Poliklinik, RUmah bersalin, Apotik daan lainya.
3.      Keuangan dan Ekonomi diantaranya BMT, Bank Syariah, Amal Usaha Ekonomi, Koperasi.
4.      Sosial diantaranya Lembaga DIskusi dan lain sebagainya
Sedangkan NU lebih berkembang di Desa, dan banyak membuat Amal Usaha Pendidikan seperti Pondok pesantren, Sekolah MI, Asrama-asrama santri, Koperasi Santri dan Usaha amal Usaha lain.28

  1. Table Ritualisasi Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah dalam kehidupan yang bersifat Ubudiyah sehari-hari
No.
Ritualisasi
Nahdlatul Ulama
Muhammadiyah
01.
Qunut pada Sholat Subuh
Menggunakan
Tidak menggunakan
02.
Pujian pada adzanaini
Menggunakan
Tidak Menggunakan
03.
Roka’at Sholat Tarawih
21 Roka’at
8 Roka’at
04.
Tahlilan
Melaksanakan
Tidak
05.
Dzikir ba’da sholat
Jaher
Hamz
06.
Selamatan (Kenduri)
Melaksanakan
Tidak
07.
Diba’iyah/al-barjanji
Melaksanakan
Tidak

C.    Kesimpulan
Sesungguhnya tidak ada satu pun prinsip di dalam ormas Nahdhatul Ulama dan ormas Muhammadiyah yang bertentangan. Keduanya justru saling menguatkan. Kalau pun ada perbedaan pendapat, sama sekali bukan pada prinsip dan AD/ART-nya, melainkan perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa, tapi mengatas-namakan kedua ormas itu. Apalagi kalau dijadikan bahan perbedaan masalah hukum agama atau khilafiyah. Sesungguhnya kedua ormas itu sama sekali tidak pernah secara resmi menetapkan garis fiqih mereka, atau detail pendapat mereka. Apa yang dikeluarkan oleh masing-masing ulama mereka, lebih merupakan hal yang tidak mengikat kepada anggotanya, tetapi lebih merupakan ijtihad masing-masing tokoh yang bersifat pilihan.
Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan.
Tidak pernah ada anggota Nahdhatul Ulama yang gugur keanggotaannya hanya lantaran dia berpendapat bahwa qunut shalat shubuh itu bid’ah. Sebaliknya, tidak ada anggota Muhammadiyah yang dikeluarkan gara-gara dia lebih merajihkan pendapat tentang kesunnahan shalat shubuh. Apalagi kalau kita mengingat bahwa perbedaan pendapat itu sebenarnya bukan hak paten masing-masing ormas. Juga bukan trade mark yang unik dan membedakan jati dirinya.

D.    Daftar Pustaka
Alfian, Muhammadiyah, The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under The Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gajahmada Press, 1969.
As Syafi’i, Muhammad Idris, Al Risalah, (ed) Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H.
As-Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Aziz, Moh Ali, “ Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”, Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur,  Surabaya, 2001. 
Bruinessen, Martin van, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS, 1994.
Benda, Herry J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980.
Benda, Herri J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Ca. Van Peursen, Strategi Kebudayan, Terjemah Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Durkheim, Emile, On Morality and Sociology , pengantar Robert N Bellah, Chicago University Press, 1973.
Falah, M. Fajrul, Jamiyyah NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH. Darwis (ed.) Yogyakarta: LkiS, 1994.
Hamzah Wiryosukarto, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember : UNMUH, 1985.
Hidayat, Kamarudin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta : Paramadina, 1996.
Hadikusumo, Djarnawi, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA. Dahlan, Yogyakarta: Persatuan, tt.
Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran, Semarang: PWM. Jawa Tengah , tt.
Ismail, Faisal, Islam Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah,Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Unterpretasi Untuk Aksi, Bandung : Mizan,1993.
---------------, Islam dan Budaya Lokal, dalam Berita Resmi Muhammadiyah no. 08/1995-2000, Nopember 1996.
Lubis, Arbiyah, Pemkiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil (Jakarta: Sekjen PBNU, 1002).
Qodir, Zuly,. “Mempersempit Jarak Muhammdiyah dan NU”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
Sukidi,. “Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama”. Jakarta: Artikel Kompas, 17 Juni 2001.
Sumartana, dkk., Pluaralisme,konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yokyakarta: Dian Interfiedi, 2001.
Tamimy, Djindar, Penjelasan Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Yogyakarta: Sekretariat P. Muhammadiyah, 1970.
Van, Peursen, Strategi Kebudayaan, Terjemahan Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988.






1 Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang ada di Negeri ini. Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa ditengah masyarakat, meski berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi ciri khas kedua ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui masyarakat, bukan saja didalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Sukidi,. “Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama”. Jakarta: Artikel Kompas, 17 Juni 2001.
2 Th. Sumartana,  dkk. Pluaralisme,konflik dan  Pendidikan Agama di Indonesia ( Yokyakarta:Dian Interfiedi 2001), 81-83.
3 Bahkan seorang Ben Anderson (pakar studi tentang Indonesia dari Amerika) mengeluhkan sedikitnya perhatian ilmiah yang diberikan pada NU. Padahal NU yang dianggap sebagai simbol Islam tradisionalis, menurutnya, memainkan peran signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan politik di Indonesia. U. Tanthowi, Pramono, “Muhammadiyah dan NU dalam Kompetisi Makna Civil Society”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.

4 Moh Ali Aziz, “ Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”, Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur,  (Surabaya, 2001), 6. 
5 yaitu era perjuangan melawan kolonialisme, era kemerdekaan, era transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, era pembangunan bangsa dengan pengukuhan Pancasila sebagai asas tunggal berbangsa dan bernegara, dan ke lima masa peralihan dari Orde Baru ke era reformasi. Faisal Ismail, Islam Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 185-186.
6 Dimaksud mekanisme kerja pembaharuan pemikiran tersebut dalam makalah ini ialah metodologi berfikir yang telah dilakukan Muhammadiyah dan yang telah menghasilkan produk pemikiran, baik berupa keputusan resmi organisasi melalui muktamar atau majlis-majlisnya, maupun pemikiran tidak resmi namun cukup populer di kalangan Muhammadiyah, misalnya anjuran KHA.Dahlan “dadiyo kiyai sing kemajuan” (jadilah kiyai/ ulama’ yang berpandangan maju). Dimaksud metodologi di sini berbeda dengan metode ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah dalam masalah fikih sebagaimana ditulis oleh Fatkhurrahman Djamil dalam disertasinya yang dalam analisanya berdasarkan kerangka ilmu ushul fikih. Lihat Fatkhurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, ( Jakarta, Logos, 1995 ) hlm.10.
7 K.H. sholahudin Wahid, Intervew di Ponpes Tebu Ireng Jombang-Jawa Timur, 6 Maret 2010
8 yaitu bersikap ditengah-tengah antara pemahaman tektual dengan rasionalisme, bersikap dengan Manhaj Tawazun, berarti berpandangan keagamaan yang berusaha mengembangkan, sikap moderat Aswaja tercermin pada metode pengambilan hukum (istimbat) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. M. Fajrul Falah, Jamiyyah NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH. Darwis (ed.) (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 170
9 Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil (Jakarta: Sekjen PBNU, 1002), hal. 3-4
10 Abi Ishaq as-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Juz I, hal. 10 dan Juz II, hal. 2.
11 Itulah barangkali yang mendorong munculnya kritik terhadap muhammadiyah baik kritik internal dari warga Muhammadiyah sendiri maupun eksternal. Di antara kritik yang cukup mendasar adalah hilangnya elan organisasi besar ini karena terjebak ke dalam rutinisme. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Unterpretasi Untuk Aksi, ( Bandung : Mizan,1993 ) hlm.192-193.
12 Perbedaan tantangan dan struktur sosial yang dihadapi antara periode awal dan periode kedua dimungkinkan terjadinya perbedaan pemikiran, termasuk metode berfikirnya, yang menurut Kuntowijoyo periode kedua lebih berorientasi ke pelaksanaan doktrin, sehingga bobot ketajdidannya mungkin menjadi kurang. Emile Durkheim, On Morality and Sociology , pengantar Robert N Bellah (Chicago University Press, 1973 ) p. 91.
13 Perbedaan yang pokok terletak pada dua hal: paham dasar yang dianut dan metode dalam memahami akidah. Muhammadiyah menganut Jabbariyah, Periksa Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah bab Qada’ dan Qadar.
14 Arbiyah Lubis, Pemkiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1993)hlm. 183
15 Dalam mengajarkan tafsir Al-quran beliau menerangkan bagaimana cara mempelajari Al-Quran yaitu: (1) Bagaimana artinya, (2) Bagaimana tafsirnya, (3) Bagaimana maksudnya, (4) Apakah ini larangan dan kamu sudah meninggalkan, (5) Apakah ini perintah yang wajib dikerjakan?, sudahkan kita menjalankan?, bilamana belum dapat menjalankan dengan sesungguhnya, maka tidak perlu membaca ayat-ayat yang lainnya. K.R.H.Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran, (Semarang : PWM. Jawa Tengah , tt) hlm. 21 dan 24.
16 Kuntowijoyo , Islam dan Budaya Lokal, dalam Berita Resmi Muhammadiyah no. 08/1995-2000, Nopember 1996, hlm. 47
17 Menurut van Peursen ada tiga tahapan pemikiran yaitu tahap mitis, ontologis , dan fungsional . Periksa Ca. van Peursen , Strategi Kebudayan, Terjemah Dick Hartoko, ( Yogyakarta : Kanisius, 1988 ) hlm. 18
18 Alfian , Muhammadiyah, The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under The Dutch Colonialism, ( Yogyakarta : Gajahmada Press, 1969) hlm. 150
19 Muhammadiyah dibawah pimpinan Ki Bagus Hadikusumo memutuskan bahwa melakukan Seinkerei hukumnya haram karena mendekati syirk, Djarnawi Hadikusumo, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA. Dahlan ,( Yogyakarta : Persatuan, tt ) hlm. 96
20 Djindar Tamimy, Penjelasan Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ,( Yogyakarta : Sekretariat P. Muhammadiyah , 1970 ) hlm. 2
21 Antagonisme politik yang terjadi antara Islam modernis dengan pemerintah yang berlangsung sejak tahun 1960 (ketika Masyumi dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno), membuat kalangan modernis mencoba mencari landasan teologis baru guna berpartisipasi dalam “develomentalisme” Orba. Tahun 1971, dalam Muktamar di Ujung Pandang, Muhammadiyah menyatakan tidak berafiliasi terhadap salah satu partai politik manapun. Hal ini hampir bersamaan dengan wacana yang dikembangkan generasi baru intelektual Islam, yang sejak dasawarsa 1970-an berusaha mengembangkan format politik baru yang lebih menekankan aspek substansial. Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
22 Ketika kalangan Islam modernis terakomodasi dlam state (ICMI), Gus Dur mendirikan forum demokrasi, dan aktivitas NU secara umum diarahkan untuk menciptakan ruang publik diluar state dengan banyak bergerak dalam LSM-LSM dan kelompok-kelompok studi. Inilah peran Gus Dur dan NU sebagai kekuatan penyeimbang dan berhadapan vis-à-vis negara. Mereka ini pada awalnya menjadikan Islam modernis yang terakomodasi dalam state sebagai lahan kritik (Hikam:1999). Bagi mereka, modernisme tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber gagasan kemajuan dan dipuja sebagai dewa penyelamat bagi peradaban manusia. Karena modernisme itu sendiri terbukti tidak mampu memenuhi janji-janji kemajuannya. Bahkan, dalam beberapa hal, modernisme meninggalkan banyak petaka. Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. 30.
23 Muhammad Idris As Syafi’i, Al Risalah, editor Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H), hal. 20
24 Abi Ishaq as-Syatibi, …..Juz II, hal.
25 Dengan demikian permasalahan qunut dari keduanya ternyata dalam pengambilan hukumnya adalah berangkat dari al-qur'an dan Hadits, dan hasil dari takhrij hadits menunjukkan bahwa hadits yang digunakan dalam penetapan qunut adalah shahih, sehingga kesemuanya diserahkan kepada umat untuk menilai dan meyakini, mana yang dilakukan dan inilah rahmat.
26 Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
27 Amir Hamzah Wiryosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember : UNMUH , 1985, hlm. 65.
28 Ibid., 74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya