Nahdatul Ulama - Muhammadiyah
A.    Pendahuluan
Pluralisme
 agama menghadapkan kita pada dua tantangan sekaligus, yakni teologis 
dan sosiologis. Secara teologis, kita dihadapkan pada tantangan iman: 
bagaimana mendefinisikan iman kita ditengah keragaman iman yang lainnya?
 Begitu pula secara sosiologis, kitapun dihadapkan pada sejumlah fakta 
sosial: bagaimanakah hubungan antar umat beragama, lebih khusus lagi 
hubungan antar iman ditengah pluralisme agama?.
Fakta
 sosial secara jelas menyadarkan kita bahwasannya pluralisme agama 
belumlah berkorelasi positif dengan harmoni agama. Justru fakta 
berbicara sebaliknya: pluralisme agama seringkali menjadi pemicu konflik
 sosial dan sentimen keagamaan. Mengapa demikian? Banyak faktor yang 
bisa menjelaskan. Salah satunya adalah masih kuatnya “Hambatan Teologis”
 di kalangan umat beragama untuk menerima kehadiran pluralisme agama 
sebagai hukum Tuhan. Maka, alih-alih bersikap toleran, inklusif, dan 
pluralis, umat beragama justru semakin mengeras kearah sikap intoleran, 
eksklusif dan cenderung antipluralisme. Untuk itu, agenda awal kita 
adalah begaimana memecahkan “hambatan teologis” dikalangan umat beragama
 dalam menerima kehadiran pluralisme sebagai hukum Tuhan.1
Sebagai
 organisasi terbesar di Indonesia, ternyata antara Muhammadiyah dan NU 
memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik 
maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya
 dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua 
organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada 
mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, 
menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. 
Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun
 wacana keagamaan.
Keberadaan
 Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama) dalam sejarah Indonesia modern 
memang amat menarik. Sepanjang perjalanan kedua organisasi Islam 
terbesar ini, senantiasa diwarnai koorporasi, kompetisi, sekaligus 
konfrontasi. Membicarakan Muhammadiyah dan NU di Indonesia selalu 
melibatkan harapan dan kekhawatiran lama yang mencekam, karena wilayah 
pembahasan ini penuh romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen 
historis yang amat sensitif. Sekedar contoh, Sering dinyatakan, 
kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai 
aktivitas kelompok reformis, Muhammadiyah (dan Serekat Islam), meski 
bukan satu-satunya alasan.
B.     Pembahasan
- Latar Belakang eksistensi Nahdlotu Ulama (NU) dan Muhammadiyah
Nahdlatul
 Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang 
didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya 
oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh 
pesantren dan pelopor utamanya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri 
sekaligus pengasuh Pon Pes. Tebuireng – Jmbang pada tahun itu. Tujuan 
didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah
 (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat. Ini berarti NU adalah 
organisasi keagamaan yang secara  konstitusional membela dan 
mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel.2
Sebagai organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah wal Ijtima’iyah),
 NU merupakan bagian integral dari wacana pemikiran suni. Terlebih lagi,
 jika kita telusuri lebih jauh, bahwa penggagas berdirinya NU memiliki 
pertautan sangat erat dengan para ulama “Haramain” (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Usmani yang ketika itu berhaluan Aswaja.
Selama
 ini image masyarakat terhadap NU terlanjur miring dengan jargon sebagai
 kaum tradisionalis, kolot, irasional dan jumud (stagnan) dalam 
pemikiran. Tentu saja image tersebut tidak berdasar. Jika NU statis, 
bagaimana mungkin memiliki umat 35 juta yang tersebar di seluruh tanah 
air dan memiliki kredo (kaidah hukum) Al-Mukhafatdlatu ‘Ala Qadimish Shalih Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan
 nilai dan tradisi lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif 
terhadap nilai dan tradisi baru yang lebih baik).3
Keadaan
 agak tertolong, setelah NU secara yuridis menjustifikasikan satu 
keputusan monumental bagi reformasi secara kritis dan analitis dalam 
institusi tertinggi dibawah Muktamar yaitu Musyawarah Nasional Alim 
Ulama di Bandar Lampung pada tahun 1992.4 Dalam keputusan tersebut disepakati bahwa sistem pengambilan keputusan hukum dalam Bahsul Masail Diniyah (pembahasan masalah-masalah agama) bisa dilaksanakan dengan pola bermazhab secara qauli (tekstual) maupun manhaj
 (kontekstual). Hal ini memberikan kemungkinan untuk mengikuti manhaj, 
jalan pikiran dan kaidah hukum yang telah disusun oleh para Imam mazhab.
 Begitupun dalam bidang akidah, tidak mustahil terjadi pembaharuan 
pemikiran sepanjang sejalan dengan manhaj Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan 
Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Pola berpikir semacam ini dapat diketahui 
pada pemikiran Al-Baqillani, Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, 
Al-Syahrastani dan Al-Razi.
Sementara
 itu, Persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA.Dahlan di 
Yogyakarta (1912), dalam perjalanan sejarahnya selama lebih dari 85 
tahun telah menunjukkan kemampuannya menghadapi berbagai perubahan 
sosial tanpa kehilangan identitasnya sebagai gerakan Islam amar-makruf 
nahi-munkar. Setidak-tidaknya ada lima era perubahan sosial dan proses 
pembangunan bangsa yang telah dilalui oleh Muhammadiyah dengan relatif 
mulus.5 
Muhammadiyah
 sejak kelahirannya dikenal sebagai gerakan pembaharu Islam dengan 
jargon-jargon ijtihad dan tajdidnya yang direalisasikan dalam 
bidang-bidang sosio-kultural dengan amal usaha di bidang pendidikan , 
sosial- kemasyarakatan dan kegiatan keagamaan. Karena sepanjang 
sejarahnya Muhammadiah lebih menonjol gerakannya di bidang amal usaha 
sosial dibandingkan dengan produk pemikiran keagamaannya, maka 
Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan amal (praksis) bukan sebagai 
gerakan pemikiran. Walaupun demikian karena apa yang telah dilakukan 
Muhammadiyah dengan dampak sosialnya yang begitu besar itu merupakan 
implementasi dari hasil ijtihadnya, maka dapat diasumsikan bahwa ada 
mekanisme kerja pembaharuan pemikiran keagamaan yang dilaksanakan 
Muhammadiyah dalam menjalankan misinya sehingga ia disebut gerakan 
pembaharuan dalam Islam.6
 tetapi metode yang digunakan Muhammadiyah dalam merumuskan konsep 
pembaharuan pemikirannya. Dengan mengkaji metodologi pemikiran ini 
diharapkan dapat diketahui bagaimana cara Muhammadiyah merespons 
masalah-masalah yang dihadapi dan bagaimana metode berfikirnya.
- Dinamika Pemikiran Nahdlotu Ulama (NU) dan Muhammadiyah
1.      Dinamika Pemikiran Nahdlotu Ulama (NU)
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah,
 tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas 
empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu 
seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih mengikuti satu mazhab:Syafi'i meskipun mengakui tiga madzhab yang lain: Hanafi, Maliki, Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984,
 merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah
 wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang
 fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara.
 Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan 
dinamika sosial dalam NU.
-          Basis pendukung
Dalam
 menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang 
perlu diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim 
tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan 
dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen 
resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada 
upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun untuk mengelola 
keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara 
melihatnya. Dari segi politik, ini bisa dilihat dari jumlah perolehan 
suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti 
PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Dari segi paham 
keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan 
mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil 
penelitian Saiful Mujani (2002) yiatu berkisar 48% dari Muslim santri 
Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) 
memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat 
dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Sedangkan jumlah 
Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka 
yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu 
mereka ini semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU. 
Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan 
sumatra. Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai profesi beragam 
yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota 
maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara 
sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat
 menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki 
ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan
 rakyat dan cagar budaya NU.
Basis
 pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan 
perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang 
bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis
 NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh 
di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem
 pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan 
dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini
 NU sudah memiliku sejumlah Doktor atau Master dalam berbagai bidang 
ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, 
termasuk negara-negara Barat. Hanya saja para Doktor dan Master ini 
belum dimamfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di 
setiap lapisan kepengurusan NU.
NU
 di kabupaten temanggung bermula dari para pengikut Toriqoh 
Naqshobandoyah yang berpusat di sokaraja banyumas kebetulan wilayah 
temanggung termasuk konsul banyumas yang diketuai oleh raden muhtar.kota
 parakan mulanya dijadikan cabang mengingat badal toriqoh sukaraja 
berpusat di parakan.
-          Usaha Organisasi
a.       Di
 bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa 
persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
b.      Di
 bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan 
nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, 
berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga 
Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah 
khususnya di Pulau Jawa.
c.       Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
d.      Di
 bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati 
hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal 
ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah
 terbukti membantu masyarakat.
e.       Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat..7
-          Prospektif Aswaja NU
Diskursus Aswaja dalam NU kurun 1994-sekarang ini terbilang cukup mengagetkan kalangan ulama
 tua. Doktrin Aswaja NU selama ini dinilai sebagai sesuatu yang final 
dan haram hukumnya diperdebatkan eksistensinya. Secara mengejutkan, 
muncul pemikiran baru tentang perlunya rekonstruksi rumusan Aswaja NU 
untuk mengantisipasi perkembangan pemikiran dalam bidang keagamaan yang 
melaju dengan cepat sesuai dengan tuntutan zaman. Alasannya, konstruksi fiqhiyyah Aswaja NU mungkin masih bisa akomodatif dan survive
 dalam menghadapi perubahan sosial. Akan tetapi lain halnya, bila 
menelusuri doktrin Aswaja NU dalam bidang teologis, yang di dalamnya 
tidak luntur sebagaimana konstruksi fiqh.
Salah satu rekonstruksi Aswaja adalah pandangan bahwa doktrin Aswaja harus dipahami sebagai Manhaj Al-Fikr atau
 sebagai metotologi berfikir, bukan Aswaja sebagai mazhab apalagi produk
 Mazhab. Ini artinya, berpaham Aswaja berarti bersikap dengan 
menggunakan Manhaj Tawasuth.8 Dalam wacana berpikir selalu menjembatani antara wahyu (nash) dan rasio (al-ra’yu).
 Metode seperti inilah yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat 
serta generasi berikutnya dalam menelurkan hukum-hukum pranata sosial.
Sikap lain yang ditunjukkan adalah tawazun atau sikap netral yang dalam berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras (tatharruf),
 tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang lalim mereka tidak 
segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Sedangkan dalam 
kehidupan sosial bermasyarakat, Aswaja mempunyai sikap toleran (tasamuh) yang tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap umat lain saling menghargai.
Lebih
 menarik, bila mengamati Aswaja dalam NU. Terminologi Aswaja masih 
memungkinkan memerlukan reinterpretasi (penafsiran ulang). Hal ini 
karena rumusan baku Aswaja NU belum terlalu tegas. Dalam qanun asasi (UUD)
 NU pun belum ada penjelasan yang mendasar mengenai rumusan Aswaja. Di 
dalamnya, KH. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar) menyebutkan Madzahibul Arba’ah (bukan salah satu dari empat mazhab). Penyebutan itu bertujuan agar warga NU yang heterogen wacana pemikirannya tidak ta’asub.9
 Ini artinya doktrin itu bukan kebenaran absolut, yang tidak bisa 
menerima tawaran pemikiran baru. Landasan pikirnya, tentu karena hal itu
 masih merupakan wilayah ijtihadiyah, sehingga mungkin saja 
dibenarkan jika kalangan NU itu sendiri melakukan reinterpretasi 
terhadap teks-teks Aswaja yang ada. Selama ini orang NU berpendapat 
bahwa berhaluan Aswaja adalah mereka yang suka pengajian akbar, 
mendirikan madrasah, mengelola ziarah kemakam para ulama terdahulu, 
seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan Padang Pariaman dan wali songo di 
pulau Jawa, tahlilan, manakiban, shalat Subuh pakai qunut, keseimbangan 
dalam menjalin hubungan antara manusia dengan tuhannya, manusia dengan 
sesamanya dan antara manusia dengan lingkungannya. Hal inilah yang 
menunjukkan bahwa Aswaja sangat prospektif, tidak mati karena 
perkembangan zaman.10
Pemikir-pemikir
 liberal yang disebut sebelumnya juga berimplikasi terhadap perkembangan
 pemikiran NU di daerah yang tidak saja di dominasi oleh pemikiran 
kiai-ulama sepuh, tetapi gerak langkah tokoh muda NU menghiasi wacana baru yang lebih progresif.
Menanggapi fenomena di atas,
 sepertinya akan menjadi keniscayaan pada era mendatang dan kiranya 
perlu kesiapan mental menguasai elite NU agar dinamika pemikiran mereka 
tidak dipasung, dan atau dibiarkan berkelana hingga sudut langit di 
awang-awang, tanpa bisa dibumikan dilingkungan jam’iyah NU yang selalu 
berpegang kuat pada senjata akomodatif terhadap perkembangan baru yang 
lebih baik.
2.      Dinamika Pemikiran Muhammadiyah
-          Dinamika Pemikiran Muhammadiyah
Ditinjau dari perspektif sejarah menurut Kuntowijoyo, dinamika Muhammadiyah dapat dipilah menjadi dua periode. Pertama;
 periode awal perkembangannya yang merupakan dinamika kualitatif yaitu 
fase pembentukan doktrin yang sarat dengan kegiatan ijtihad dan tajdid, kedua;
 periode berikutnya yang berjalan sampai sekarang merupakan dinamika 
kuantitatif yaitu fase pelaksanaan doktrin atau tahap mewujudkan 
cita-cita awalnya, sehingga seakan-akan tugas sejarah Muhammadiyah di 
bidang tajdid sudah selesai.11 
Terlepas
 dari sejauh mana kebenaran kritik tersebut, namun kenyataan bahwa 
selama periode kedua yaitu masa pelaksanaan doktrin banyak produk-produk
 pemikiran Muhammadiyah yang dapat mengantarkan perkembangan 
Muhammadiyah sampai sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode 
kedua juga terjadi dinamika pemikiran Muhammadiyah. Pemikiran tersebut 
tentu tidak terlepas dari tantangan dan perubahan sosial yang dihadapi 
pada masanya, sebagaimana dikatakan Emile Durkheim bahwa pemikiran agama
 dan pemikiran ilmiah ditentukan oleh kondisi yang mencerminkan tipe 
struktur sosial di mana pemikiran-pemikiran itu muncul.12 
Bertolak
 dari pemilahan periode dinamika Muhammadiyah menurut Kuntowijoyo, 
makalah ini hanya akan mengkaji metodologi pemikiran Muhammadiyah dalam 
kedua periode tersebut melalui pemikiran resmi yang berupa 
keputusan-keputusan organisasi, kecuali pemikiran KHA. Dahlan akan 
dilihat pemikiran individualnya karena beliau sebagai pendirinya dan 
peletak doktrin pembaharuannya. 
-          Metodologi Pemikiran Muhammadiyah Masa Peletakan Doktrin
Untuk
 membicarakan pemikiran yang melandasi sebuah gerakan seperti 
Muhammadiyah, tidak mungkin tanpa membahas pemikiran pendirinya yaitu 
KHA. Dahlan. Dari berbagai penelitian tentang KHA. Dahlan hampir 
semuanya sepakat bahwa pemikirannya tidak dapat dipisahkan dari ide-ide 
pembaharuan yang berkembang pada akhir abad 19, seperti Jamaluddin 
Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo. Namun di bidang teologi, 
menurut Arbiyah Lubis, teologi Muhammadiyah tidak ada persamaannya 
dengan teologi Muhammad Abduh.13
 Sedang Muhammad Abduh qodariyah. Dalam memahami akidah Muhammadiyah 
menerapkan metode salaf, yang menolak campur tangan akal, sedang 
Muhammad Abduh banyak persamaannya dengan Muktazilah yang banyak 
menggunakan akal.14 
Dikaitkan
 dengan teologi konvensional seperti kajian Arbiyah Lubis di atas, 
tampak Muhammadiyah kurang memiliki bobot pembaharuan pemikiran Islam 
karena ciri pemikiran modern ialah rasional dan tidak fatalistis 
sebagaimana faham jabariyah. Kalau demikian di mana letak pembaharuan 
pemikiran Muhammadiyah, hal ini perlu dilacak dari orientasi pemikiran 
keagamaan Muhammadiyah. 
Muhammadiyah
 pada masa peletakan doktrin memang tidak banyak menonjolkan pembicaraan
 tentang masalah teologi, dan mencukupkan diri dengan pemikiran yang 
sudah lazim pada masanya, yaitu pemikiran Ahlu al- sunnah wa al-jama’ah atau lebih spesifik teologi Asy’ariyah.
 Pemikirannya banyak ditujukan pada masalah-masalah fungsi agama dalam 
konteks sosio-kultural, sedang masalah ketuhanan yang tidak berakibat 
langsung dan praktis bagi amaliyah dan kesejahteraan sosial kurang 
mendapatkan perhatian.
Pemikiran agama menurut Muhammadiyah yang memiliki implikasi sosial cukup besar ialah pemurnian agama (purifikasi)
 di bidang akidah dan amaliah. Hal ini tercermin dalam pengajaran KHA. 
Dahlan tentang tafsir Al-Quran yang dirangkum oleh K.R.H. Hadjid dalam“ Ajaran KHA. Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran”. 
17
 ayat Al-Quran tersebut menurut K.R.H. Hadjid sangat menjadi perhatian 
KHA. Dahlan, terbukti dalam mengajarkannya selalu diulang-ulang sampai 
para santri faham benar, meyakini, dan bersedia mengamalkannya. Esensi 
dari ajaran ke 17 ayat tersebut dapat disimpulkan meliputi ; 
(1).
 Pemurnian akidah dengan membersihkan pribadi dari hawa nafsu yang hanya
 mengikuti kebiasaan yang ada pada diri sendiri, dalam keluarga, dan 
dalam masyarakat. Karena kebiasaan itu tidak sesuai dengan Al-Quran dan 
Sunnah, maka harus ditinggalkan dan kembali pada Al-Quran dan Sunnah, 
(2). Kepedulian sosial sebagai inti implementasi akidah yang benar, (3).
 Dakwah amar makruf nahi munkar, dan (4). Jihad fi sabilillah dengan 
jiwa, raga dan harta. 
Contoh
 lain tentang metode berfikir KHA.Dahlan ialah pelajaran tafsir surat 
al-Ma’un dan surat al-Taubah ayat 34. Dengan metode berfikir yang sama 
dengan waktu mengajarkan surat al-Jatsiyah 23 di atas akhirnya 
KHA.Dahlan menekankan makna beragama Islam tidak cukup hanya melakukan 
ibadah ritual tetapi harus diwujudkan dalam amal nyata dengan orientasi 
sikap peduli sosial.15
Dengan
 cara pengajaran demikian menunjukkan bahwa orientasi pemikiran 
keagamaannya ialah orientasi fungsional artinya ajaran Islam hanya akan 
berarti apabila dapat berfungsi membawa kesejahteraan sosial atau lebih 
luas rahmatan li al- alamin. Orientasi pemikiran keagamaan semacam ini 
menunjukkan bahwa KHA. Dahlan telah melakukan rekonstruksi pemikiran 
keagamaan dari simbolik- spiritualistik dan mistis ke substantif (agama 
yang syari’atnya dilaksanakan secara konsekuen).16 Sesuai dengan risalah Islam yakni terwujudnya rahmatan li al-alamin,
 dan kalau dikaitkan dengan teori van Peursen , pemikiran keagamaan 
KHA.Dahlan dalam konteks budaya sudah meninggalkan pemikiran mitis dan 
sudah memasuki tahap pemikiran fungsional, sebagai ciri pemikiran 
masyarakat modern.17
 Namun sementara pengamat lebih cenderung memberi predikat Muhammadiyah 
sebagai gerakan amal (praktis) dari pada gerakan pemikiran karena 
langkanya produk tertulis dari KHA. Dahlan. Dalam hal ini Alfian tidak 
menyebut sebagai gerakan amal atau gerakan pemikiran, tetapi Ijtihad 
KHA. Dahlan dalam masalah-masalah keagamaan memang cenderung pragmatis. 
Menurutnya, dalam memecahkan masalah-masalah keagamaan, tindakan yang 
langsung dan kongkret harus dinomorsatukan di atas pemikiran teoritis 
atau filosofis. Oleh karena itu, langkanya karya tulis Dahlan adalah 
konsekuensi logis dari pragmatismenya.18
-          Metodologi Pemikiran Muhammadiyah Masa Pelaksanaan Doktrin
Untuk
 membahas metodologi pemikiran Muhammadiyah masa pelaksanaan doktrin 
hanya akan menggunakan satu contoh produk pemikiran Muhammadiyah yaitu 
tentang “ Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah “, yang merupakan hasil
 rumusan Ki Bagus Hadikusuma pada tahun 1945 dan baru disahkan dan 
ditetapkan dalam muktamar Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta tahun 1950. 
Sejak
 pendirian Muhammadiyah (KHA.Dahlan) sampai tahun 1945 pokok-pokok 
pikiran Muhammadiyah yang melandasi gerakan pembaharuannya belum 
tersusun secara sistematis. Ki Bagus Hadikusumo, yang waktu itu menjabat
 sebagai ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1942-1953) menghadapi situsi
 perubahan sosial yang sangat mendasar berkenaan dengan masa transisi 
menuju kemerdekaan RI tahun 1945, terpanggil untuk menyusun rumusan 
pokok-pokok pikiran Muhammadiyah sebagai pedoman persyarikatan. 
Situasi
 yang dihadapi Muhammadiyah pada masa pendudukan Jepang, menjelang 
kemerdekaan, yang sangat menjadi kerihatinan Muhammadiyah ialah 
intervensi penguasa Jepang dalam masalah kehidupan beragama umat Islam, 
yakni peraturan yang mengharuskan seluruh rakyat Indonesia memberi 
penghormatan kepada Tenno Haika dengan melakukan “ Seinkerei “(semacam 
ruku’ dalam salat).19
Usaha
 kultural semacam itu berhasil menyelamatkan akidah umat Islam, terbukti
 akhirnya peraturan Seinkerei itu tidak jadi diberlakukan . Namun 
Muhammadiyah memandang bahwa mulai saat itu ada gejala pergeseran nilai 
di kalangan warga Muhammadiyah sendiri . Menurut analisa Djindar Tamimi 
kemungkinan karena dipengaruhi oleh dorongan sikap materialistis dan 
kuatnya pengaruh luar yang tidak sesuai dengan jiwa Muhammadiyah.20
 Di
 samping itu kemungkinan juga karena wilayah Muhammadiyah semakin luas 
dan banyak anggota dan simpatisan yang semakin jauh mereka dari sumber 
gagasan dan spirit Muhammadiyah, sehingga wajar apabila terjadi 
kekaburan penghayatan terhadap dasar-dasar pokok yang mendorong 
KHA.Dahlan dalam menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah.
- Konflik Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Dialektika
 Muhammadiyah dan NU dalam sejarah politik Islam di Indonesia, dapat 
dirunut, paling tidak, sejak lahir tahun 1930-an, melalui MIAI (Majelis 
Islam A,la Indonesia), sebuah federasi untuk membina kerja sama berbagai
 organisasi Islam. Kompetisi dan konstelasi kedua tradisi Islam ini, 
sepanjang Orde Lama dan Orde Baru, tampak dari rivalitas keduanya dalam 
Masyumi sepanjang tahun 1945-1952 dan di PPP sepanjang tahun 1973-1984, 
respon terhadap Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta respons terhadap 
rezim Orba. Belum lagi persaingan dalam memperebutkan berbagai jabatan 
politik. Karena itu, dapat dimengerti bila persaingan ini pada akhirnya 
juga merambah bidang lain, termasuk pendekatan dalam mengembangkan civil society.21
Motivasi
 kalangan modernis agar bisa terakomodasi dalam proses pembangunan Orba 
seperti ini menyebabkan mereka mengembangkan civil society dengan 
pendekatan Hegelian, yang memiliki ciri (1) lebih menekankan fungsi 
komplementatif dan suplementatif. Dengan cirri seperti ini, sipil 
society berfungsi melaksanakan sebagian peran-peran negara. (2) 
Menekankan pentingnya kelas menengah. Tentu saja kelas menengah yang 
sedikit banyak bergantung kepada state. Karena sebagaimana lazimnya 
negara dunia ketiga yang sedang berkembang, state memegang peranan 
penting dalam seluruh sektor kehidupan.
Pendekatan
 Hegelian seperti diadopsi oleh Muhammadiyah ini, mendapat kritik tajam 
dari Alexis de Tocqueville. Ini disebabkan, karena dalam pemikiran 
Hegel, posisi negara dianggap sebagai standar terakhir. Seolah-olah, 
hanya pada dataran negara sajalah politik bisa berlangsung secara murni 
dan utuh, sehingga posisi dominan negara bermakna positif. Dengan 
demikian civil society akan kehilangan dimensi politik dan tergantung 
manipulasi dan intervensi negara. Pendekatan Tocquevellian yang diadopsi
 NU, menekankan fungsi civil society sebagai counter balancing 
terhadap negara, dengan melakukan penguatan organisasi-organisasi 
independen di masyarakat dan pencangkokkan civic culture untuk membangun
 budaya demokratis. Pendekatan Tocquevellian ini digunakan karena 
sepanjang dua dasawarsa awal Orba, NU tidak memperoleh tempat dalam 
proses-proses politik. Marginalisasi politik ini, disebabkan karena 
rezim Orba hanya mengakomodasi kelompok Islam yang mendukung 
modernisasi, dan itu didapat dari kalangan modernis yang sudah lebih 
dulu melakukan pembaruan pemikiran politik Islam. Selain itu, tentu 
saja, akibat rivalitas dengan kalangan modernis yang menjadi kelompok 
dominan di PPP. Dengan demikian, dapat dimengerti jika sejak muktamar 
1984 di Situbondo, NU menyatakan kembali khitah 1926, dan mengundurkan 
diri dari politik praktis, yang secara otomatis menarik dukungan dari 
PPP.
Dengan motivasi seperti itu, maka sejak akhir dasawarsa 1980-an, aktivis NU banyak diarahkan pada penciptaan free public sphere,
 tempat dimana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat 
secara bebas dan terbuka. Upaya ini dilakukan dengan cara advokasi 
masyarakat kelas bawah, dan penguatan LSM. Mereka meyakini, civil 
society hanya bisa dibangun jika masyarakat memiliki kemandirian dalam 
arti seutuhnya, serta terhindar dari jaring intervensi dan kooptasi 
negara. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengamati kiprah NU sejak awal 
dasawarsa 1990-an.22
- Salah Satu Contoh Konflik Hukum Syar’i Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Permasalahan
 yang sampai sekarang selalu muncul dalam tubuh tubuh umat Islam di 
Indonesia (terutama organisasi keagamaan di Indonesia, yaitu NU dan 
Muhammadiyah) adalah qunut dalam shalat. Oleh karenanya dengan adanya 
penelitian ini diharapkan akan dapat melihat akar permasalahan dari 
polemik tersebut. Dengan pendekatan komparatif, penulis berusaha 
memaparkan dan membandingkan antara keduanya, berkaitan dengan 
pengertian sampai pada pelaksanaan qunut dalam shalat.
Qunut
 menurut NU secara etimologi mempunyai beberapa makna, yaitu qunut 
mempunyai arti doa, khusyu', ibadah, taat, pengakuan ibadah, 
melaksanakan ibadah, diam, mengerjakan shalat dengan lama, melanggengkan
 taat.23
 Sedangkan menurut syarak yaitu doa tertentu yang dibaca dalam shalat 
dan masih dalam keadaan berdiri. Qunut adalah do'a yaitu do'a yang 
dikerjakan secara khusuk ketika melakukan ibadah atau shalat yang 
dilakukan dalam keadaan berdiri setelah rukuk sebagai ibadah kepada 
Allah SWT.24 
Qunut
 dalam pandangan Muhamadiyah yaitu qunut yang berarti berdiri lama dalam
 shalat dengan membaca ayat al-qur'an dan berdo'a sekehendak hati. 
Penulis dalam hal ini, dapat mengambil pengertian bahwa definisi qunut 
menurut Muhamadiyah adalah berdiri lama dalam shalat untuk berdo'a atau 
membaca ayat al-Qur'an. 
Persamaan
 yang dapat diambil dari permasalahan qunut menurut NU dan Muhamadiyah 
adalah dalam pengambilan suatu hukum didasarkan pada al-Qur'an dan 
Sunnah, begitupun dalam masalah qunut tidak ada satu hukum yang digali 
oleh seorang mujtahid kecuali bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah. 
Perbedaan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah pembagian qunut dalam tiga macam. Di antaranya: Pertama, qunut subuh dalam NU berarti membaca doa qunut dalam shalat subuh sepanjang tahun sedangkan menurut Muhamadiyah adalah berdiri sementara pada shalat subuh, sesudah ruku' pada rekaat kedua dengan membaca doa allahumah dini fiiman hadait dan seterusnya.
Perbedaan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah pembagian qunut dalam tiga macam. Di antaranya: Pertama, qunut subuh dalam NU berarti membaca doa qunut dalam shalat subuh sepanjang tahun sedangkan menurut Muhamadiyah adalah berdiri sementara pada shalat subuh, sesudah ruku' pada rekaat kedua dengan membaca doa allahumah dini fiiman hadait dan seterusnya.
Kedua,
 Qunut nazilah dalam NU adalah qunut yang dibaca ketika terjadi becana 
atau musibah dan disunahkan membaca qunut nazilah dalam shalat fardlu, 
sedangkan menurut Muhamadiyah qunut nazilah menurut riwayat hadits tidak
 boleh diamalkan, boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kutukan dan 
permohonan pembalasan terhadap perorangan. Ketiga, qunut witir 
menurut NU yang disertakan dalam shalat witir yaitu yang dikerjakan pada
 tanggal 16 ke atas dalam bulan Ramadhan, sedangkan dalam Muhamadiyah 
masih dalam perselisihan oleh ahli-ahli hadits.25
NU
 dan Muhammadiyah sebenarnya sama-sama berdasarkan Al-qur'an dan Hadist.
 Persoalan yang membedakan mereka adalah cara-nya mencapai Dasar hukum 
Al-qur'an dan Hadist itu. Semisal; Kalau Muhammadiyah mengambil dasar 
hukum didahului dengan melihat Al-qur'an dan Hadist dulu, apakah ada 
dalilnya.. kalau tidak ada barulah menkaji dan menganalogikan dengan 
dalil yang dekat dengan persoalan itu. Berbeda dengan NU, Kalau ada 
persoalan di kaji dulu masalah itu dan kemudian dicari dalil hukumnya 
dari berbagai tokoh ulama atau kyai, baru kemudian dilihat ke Al-qur'an 
atau Hadist, tetapi kalau di buku-buku karangan kyai atau Ulama sudah 
cukup kadang tidak terus mencari Al-qur’an dan Hadist.26
Kalau
 secara pergaulan dan cara kesaharian orang-orang NU dan Muhammadiyah, 
NU lebih terkesan tradisional dan Muhammadiyah terkesan Modern, secara 
organisatoris.
Muhammadiyah lebih banyak hidup dan besar di kota-kota, dan banyak membuat Amal Usaha27 seperti:
1.      Pendidikan diantaranya: Sekolah Modern baik ditingkat TK, SD, MI, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
2.      Kesehatan: Rumah Sakit, Balai Pengobadan, Poliklinik, RUmah bersalin, Apotik daan lainya.
3.      Keuangan dan Ekonomi diantaranya BMT, Bank Syariah, Amal Usaha Ekonomi, Koperasi.
4.      Sosial diantaranya Lembaga DIskusi dan lain sebagainya
Sedangkan
 NU lebih berkembang di Desa, dan banyak membuat Amal Usaha Pendidikan 
seperti Pondok pesantren, Sekolah MI, Asrama-asrama santri, Koperasi 
Santri dan Usaha amal Usaha lain.28
- Table Ritualisasi Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah dalam kehidupan yang bersifat Ubudiyah sehari-hari
| 
No. | 
Ritualisasi | 
Nahdlatul Ulama | 
Muhammadiyah | 
| 
01. | 
Qunut pada Sholat Subuh | 
Menggunakan | 
Tidak menggunakan | 
| 
02. | 
Pujian pada adzanaini | 
Menggunakan | 
Tidak Menggunakan | 
| 
03. | 
Roka’at Sholat Tarawih | 
21 Roka’at | 
8 Roka’at | 
| 
04. | 
Tahlilan | 
Melaksanakan | 
Tidak | 
| 
05. | 
Dzikir ba’da sholat | 
Jaher | 
Hamz | 
| 
06. | 
Selamatan (Kenduri) | 
Melaksanakan | 
Tidak | 
| 
07. | 
Diba’iyah/al-barjanji | 
Melaksanakan | 
Tidak | 
C.    Kesimpulan
Sesungguhnya
 tidak ada satu pun prinsip di dalam ormas Nahdhatul Ulama dan ormas 
Muhammadiyah yang bertentangan. Keduanya justru saling menguatkan. Kalau
 pun ada perbedaan pendapat, sama sekali bukan pada prinsip dan 
AD/ART-nya, melainkan perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa, tapi
 mengatas-namakan kedua ormas itu. Apalagi kalau dijadikan bahan 
perbedaan masalah hukum agama atau khilafiyah. Sesungguhnya kedua ormas 
itu sama sekali tidak pernah secara resmi menetapkan garis fiqih mereka,
 atau detail pendapat mereka. Apa yang dikeluarkan oleh masing-masing 
ulama mereka, lebih merupakan hal yang tidak mengikat kepada anggotanya,
 tetapi lebih merupakan ijtihad masing-masing tokoh yang bersifat 
pilihan.
Muhammadiyah
 dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi 
politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan 
sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya 
kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada
 mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, 
menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. 
Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun
 wacana keagamaan.
Tidak
 pernah ada anggota Nahdhatul Ulama yang gugur keanggotaannya hanya 
lantaran dia berpendapat bahwa qunut shalat shubuh itu bid’ah. 
Sebaliknya, tidak ada anggota Muhammadiyah yang dikeluarkan gara-gara 
dia lebih merajihkan pendapat tentang kesunnahan shalat shubuh. Apalagi 
kalau kita mengingat bahwa perbedaan pendapat itu sebenarnya bukan hak 
paten masing-masing ormas. Juga bukan trade mark yang unik dan 
membedakan jati dirinya.
D.    Daftar Pustaka
Alfian, Muhammadiyah, The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under The Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gajahmada Press, 1969.
As Syafi’i, Muhammad Idris, Al Risalah, (ed) Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H.
As-Syatibi, Abi Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor Abdullah Darras, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Aziz, Moh Ali, “ Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”, Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur,  Surabaya, 2001.  
Bruinessen, Martin van, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LkiS, 1994.
Benda, Herry J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980.
Benda, Herri J, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terjemah Daniel Dhakidae, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Ca. Van Peursen, Strategi Kebudayan, Terjemah Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Durkheim, Emile, On Morality and Sociology , pengantar Robert N Bellah, Chicago University Press, 1973.
Falah, M. Fajrul, Jamiyyah NU Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH. Darwis (ed.) Yogyakarta: LkiS, 1994.
Hamzah Wiryosukarto, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember : UNMUH, 1985.
Hidayat, Kamarudin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta : Paramadina, 1996.
Hadikusumo, Djarnawi, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA. Dahlan, Yogyakarta: Persatuan, tt. 
Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran, Semarang: PWM. Jawa Tengah , tt.
Ismail, Faisal, Islam Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah,Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Unterpretasi Untuk Aksi, Bandung : Mizan,1993.
---------------, Islam dan Budaya Lokal, dalam Berita Resmi Muhammadiyah no. 08/1995-2000, Nopember 1996.
Lubis, Arbiyah, Pemkiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
Materi
 Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem Pengambilan
 Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil (Jakarta: 
Sekjen PBNU, 1002).
Qodir, Zuly,. “Mempersempit Jarak Muhammdiyah dan NU”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
Sukidi,. “Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama”. Jakarta: Artikel Kompas, 17 Juni 2001.
Sumartana, dkk., Pluaralisme,konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yokyakarta: Dian Interfiedi, 2001.
Tamimy, Djindar, Penjelasan Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Yogyakarta: Sekretariat P. Muhammadiyah, 1970.
Van, Peursen, Strategi Kebudayaan, Terjemahan Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1988.
1 Muhammadiyah
 dan NU merupakan dua organisasi terbesar yang ada di Negeri ini. 
Pengaruh dari kedua organisasi ini amat terasa ditengah masyarakat, 
meski berbeda massanya. Dakwah bil lisan maupun bil hal yang menjadi 
ciri khas kedua ormas keagamaan ini sudah sejak lahirnya diketahui 
masyarakat, bukan saja didalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Sukidi,. “Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama”. Jakarta: Artikel Kompas, 17 Juni 2001.
2 Th. Sumartana,  dkk. Pluaralisme,konflik dan  Pendidikan Agama di Indonesia ( Yokyakarta:Dian Interfiedi 2001), 81-83.
3
 Bahkan seorang Ben Anderson (pakar studi tentang Indonesia dari 
Amerika) mengeluhkan sedikitnya perhatian ilmiah yang diberikan pada NU.
 Padahal NU yang dianggap sebagai simbol Islam tradisionalis, 
menurutnya, memainkan peran signifikan dalam berbagai perubahan sosial 
dan politik di Indonesia. U. Tanthowi, Pramono, “Muhammadiyah dan NU dalam Kompetisi Makna Civil Society”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
4 Moh Ali Aziz, “ Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”, Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur,  (Surabaya, 2001), 6.  
5
 yaitu era perjuangan melawan kolonialisme, era kemerdekaan, era 
transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, era pembangunan bangsa dengan 
pengukuhan Pancasila sebagai asas tunggal berbangsa dan bernegara, dan 
ke lima masa peralihan dari Orde Baru ke era reformasi. Faisal Ismail, Islam Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 185-186.
6
 Dimaksud mekanisme kerja pembaharuan pemikiran tersebut dalam makalah 
ini ialah metodologi berfikir yang telah dilakukan Muhammadiyah dan yang
 telah menghasilkan produk pemikiran, baik berupa keputusan resmi 
organisasi melalui muktamar atau majlis-majlisnya, maupun pemikiran 
tidak resmi namun cukup populer di kalangan Muhammadiyah, misalnya 
anjuran KHA.Dahlan “dadiyo kiyai sing kemajuan” (jadilah kiyai/ 
ulama’ yang berpandangan maju). Dimaksud metodologi di sini berbeda 
dengan metode ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah dalam masalah fikih 
sebagaimana ditulis oleh Fatkhurrahman Djamil dalam disertasinya yang 
dalam analisanya berdasarkan kerangka ilmu ushul fikih. Lihat Fatkhurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, ( Jakarta, Logos, 1995 ) hlm.10.
7 K.H. sholahudin Wahid, Intervew di Ponpes Tebu Ireng Jombang-Jawa Timur, 6 Maret 2010
8 yaitu bersikap ditengah-tengah antara pemahaman tektual dengan rasionalisme, bersikap dengan Manhaj Tawazun, berarti berpandangan keagamaan yang berusaha mengembangkan, sikap moderat Aswaja tercermin pada metode pengambilan hukum (istimbat) yang tidak semata-mata menggunakan nash,
 namun juga memperhatikan posisi akal. M. Fajrul Falah, Jamiyyah NU 
Lampau Kini dan Datang, dalam Gur Dur NU dan Masyarakat Sipil, Ellya KH.
 Darwis (ed.) (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 170
9
 Materi Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama 1992, Sistem 
Pengambilan Keputusan Hukum dan Hirarki Hasil Keputusan Bahtsul Masil 
(Jakarta: Sekjen PBNU, 1002), hal. 3-4
10
 Abi Ishaq as-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah, editor 
Abdullah Darras (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), Juz I, hal. 10 dan Juz II, 
hal. 2.
11
 Itulah barangkali yang mendorong munculnya kritik terhadap muhammadiyah
 baik kritik internal dari warga Muhammadiyah sendiri maupun eksternal. 
Di antara kritik yang cukup mendasar adalah hilangnya elan organisasi 
besar ini karena terjebak ke dalam rutinisme. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Unterpretasi Untuk Aksi, ( Bandung : Mizan,1993 ) hlm.192-193.
12
 Perbedaan tantangan dan struktur sosial yang dihadapi antara periode 
awal dan periode kedua dimungkinkan terjadinya perbedaan pemikiran, 
termasuk metode berfikirnya, yang menurut Kuntowijoyo periode kedua 
lebih berorientasi ke pelaksanaan doktrin, sehingga bobot ketajdidannya 
mungkin menjadi kurang. Emile Durkheim, On Morality and Sociology , pengantar Robert N Bellah (Chicago University Press, 1973 ) p. 91.
13
 Perbedaan yang pokok terletak pada dua hal: paham dasar yang dianut dan
 metode dalam memahami akidah. Muhammadiyah menganut Jabbariyah, Periksa Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah bab Qada’ dan Qadar.
14 Arbiyah Lubis, Pemkiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1993)hlm. 183
15
 Dalam mengajarkan tafsir Al-quran beliau menerangkan bagaimana cara 
mempelajari Al-Quran yaitu: (1) Bagaimana artinya, (2) Bagaimana 
tafsirnya, (3) Bagaimana maksudnya, (4) Apakah ini larangan dan kamu 
sudah meninggalkan, (5) Apakah ini perintah yang wajib dikerjakan?, 
sudahkan kita menjalankan?, bilamana belum dapat menjalankan dengan 
sesungguhnya, maka tidak perlu membaca ayat-ayat yang lainnya. K.R.H.Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran, (Semarang : PWM. Jawa Tengah , tt) hlm. 21 dan 24.
16 Kuntowijoyo , Islam dan Budaya Lokal, dalam Berita Resmi Muhammadiyah no. 08/1995-2000, Nopember 1996, hlm. 47
17 Menurut van Peursen ada tiga tahapan pemikiran yaitu tahap mitis, ontologis , dan fungsional . Periksa Ca. van Peursen , Strategi Kebudayan, Terjemah Dick Hartoko, ( Yogyakarta : Kanisius, 1988 ) hlm. 18
18 Alfian , Muhammadiyah, The Political Behaviour of a Muslim Modernist Organization Under The Dutch Colonialism, ( Yogyakarta : Gajahmada Press, 1969) hlm. 150
19 Muhammadiyah dibawah pimpinan Ki Bagus Hadikusumo memutuskan bahwa melakukan Seinkerei hukumnya haram karena mendekati syirk, Djarnawi Hadikusumo, Aliran Pembaharuan Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA. Dahlan ,( Yogyakarta : Persatuan, tt ) hlm. 96
20 Djindar Tamimy, Penjelasan Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah ,( Yogyakarta : Sekretariat P. Muhammadiyah , 1970 ) hlm. 2
21
 Antagonisme politik yang terjadi antara Islam modernis dengan 
pemerintah yang berlangsung sejak tahun 1960 (ketika Masyumi dipaksa 
membubarkan diri oleh Presiden Soekarno), membuat kalangan modernis 
mencoba mencari landasan teologis baru guna berpartisipasi dalam 
“develomentalisme” Orba. Tahun 1971, dalam Muktamar di Ujung Pandang, 
Muhammadiyah menyatakan tidak berafiliasi terhadap salah satu partai 
politik manapun. Hal ini hampir bersamaan dengan wacana yang 
dikembangkan generasi baru intelektual Islam, yang sejak dasawarsa 
1970-an berusaha mengembangkan format politik baru yang lebih menekankan
 aspek substansial. Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
22
 Ketika kalangan Islam modernis terakomodasi dlam state (ICMI), Gus Dur 
mendirikan forum demokrasi, dan aktivitas NU secara umum diarahkan untuk
 menciptakan ruang publik diluar state dengan banyak bergerak dalam 
LSM-LSM dan kelompok-kelompok studi. Inilah peran Gus Dur dan NU sebagai
 kekuatan penyeimbang dan berhadapan vis-à-vis negara. Mereka ini pada 
awalnya menjadikan Islam modernis yang terakomodasi dalam state sebagai 
lahan kritik (Hikam:1999). Bagi mereka, modernisme tidak lagi dianggap 
sebagai satu-satunya sumber gagasan kemajuan dan dipuja sebagai dewa 
penyelamat bagi peradaban manusia. Karena modernisme itu sendiri 
terbukti tidak mampu memenuhi janji-janji kemajuannya. Bahkan, dalam 
beberapa hal, modernisme meninggalkan banyak petaka. Martin van 
Bruinessen, NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru 
(Yogyakarta: LkiS, 1994), hal. 30.
23 Muhammad Idris As Syafi’i, Al Risalah, editor Ahmad Muhamamd Syakir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1939 M/1358 H), hal. 20
24 Abi Ishaq as-Syatibi, …..Juz II, hal. 
25
 Dengan demikian permasalahan qunut dari keduanya ternyata dalam 
pengambilan hukumnya adalah berangkat dari al-qur'an dan Hadits, dan 
hasil dari takhrij hadits menunjukkan bahwa hadits yang digunakan dalam 
penetapan qunut adalah shahih, sehingga kesemuanya diserahkan kepada 
umat untuk menilai dan meyakini, mana yang dilakukan dan inilah rahmat. 
26 Misrawi, Zuhairi, “Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah”. Jakarta : Artikel Kompas, 6 Juli 2001.
27 Amir Hamzah Wiryosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jember : UNMUH , 1985, hlm. 65.
28 Ibid., 74.
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar