Dalam putusannya, MK menganggap keberadaan RSBI/SBI telah menciptakan diskriminasi dalam dunia pendidikan. Selain itu, adanya pembedaan RSBI/SBI dan non-RSBI/SBI dapat menimbulkan kesan adanya kasta-kasta dalam pendidikan.
Di bawah mimpi mengejar “standar internasional”, khususnya standar negara-negara maju yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pemerintah menggelontorkan proyek RSBI. Untuk tujuan itu, dibuatlah standar siswa RSBI: kecerdasan harus melebihi inteligensi kolektif Indonesia (TIKI), berbakat, memiliki nilai rata-rata 7,5,dan kemampuan bahasa Inggris.
Selain itu, sarana dan prasarana RSBI serba lengkap dan mewah. Sistem pembelajarannya ditopang dengan sistim TIK (teknologi informasi dan komunikasi) dan perpustakaan digital. Tak hanya itu, sekolah RSBI juga menggandeng guru-guru asing.
Di sinilah persoalan muncul. Atas nama “standarisasi”, pemerintah memberikan perlakuan berbeda terhadap anak bangsa. RSBI menikmati anggaran sangat besar dari pemerintah. Anggaran itu lebih besar dibanding anggaran untuk sekolan non-RSBI/SBI. Tak hanya itu, gaji guru di sekolah RSBI, khususnya untuk klas internasional, sangat besar. Gaji guru “native speaker”, yang biasanya diisi oleh orang asing, bisa mencapai Rp 30-an juta per bulan. Bandingkan dengan gaji guru berstatus PNS yang hanya berkisar RP 3 jutaan per bulan.
Lalu, berdasarkan restu dari Permendiknas 78/2009, sekolah RSBI/SBI bisa melakukan pungutan terhadap siswa/orang tua siswa. Akibatnya, sekolah RSBI ini pun menjadi ajang bisnis. Di sini, praktek diskriminasi kembali terjadi. Mereka yang bisa masuk dan mengakses pendidikan di RSBI hanyalah orang-orang yang sanggup membayar mahal. Sedangkan siswa dari keluarga miskin, sekalipun cerdas, harus gigit jari.
Konsep RSBI sangat berlawanan dengan konstitusi kita (UUD 1945). Prinsip UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, seluruh rakyat Indonesia berhak untuk mengakses pendidikan yang sama, fasilitas yang sama, dan kualitas yang sama. Dengan demikian, dalam memajukan kualitas pendidikan nasional, pemerintah seharusnya tidak bertindak diskriminatif. Apalagi, UNESCO sendiri menganut prinsip pendidikan untuk semua alias pendidikan universal.
Ironisnya, ketika pemerintah gembar-gembor soal mutu dan kualitas, mereka lupa tentang ketersediaan dan akses rakyat terhadap pendidikan. Sampai sekarang ini, masih ada 9 juta rakyat Indonesia yang buta huruf. Sudah begitu, setiap menitnya ada 4 anak Indonesia yang putus sekolah.
Angka partisipasi pendidikan Indonesia juga masih rendah. Angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMP baru 70%. Sedangkan APK untuk tingkat SMU baru berkisar 60%. Lalu, angka partisipasi di pendidikan tinggi baru berkisar 18,7%. Artinya, masih banyak rakyat Indonesia yang belum diberi kesempatan untuk mengakses pendidikan.
Di banyak negara, termasuk Jepang, yang dikejar pertama adalah soal ketersediaan dan akses rakyat terhadap pendidikan. Sehingga, yang dibangun bukanlah sekolah unggulan, melainkan membangun sekolah sebanyak-banyaknya hingga ke pedalaman. Kuba, negara yang standar pendidikannya disejajarkan dengan negara maju, juga lebih mendahulukan akses pendidikan bagi seluruh rakyat. Kuba memobilisasi seluruh sumber dayanya, termasuk anggaran negara, untuk menyelenggarakan pendidikan gratis di seluruh jenjang pendidikan.
Di indonesia, masalahnya terletak di komitmen pemerintah. Anggaran pendidikan kita tidak pernah melebihi 4% dari PDB. Bandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia (5,2%%) dan Thailand (5,0%). Sedangkan Kuba, negeri yang pernah dilanda kelaparan, tetap konsisten dengan anggaran pendidikan di atas 6% dari PDB-nya.
Ironisnya, dalam konsep RSBI, kualitas diukur dengan kemampuan berbahasa inggris, dengan fasilitas ruangan LCD dan Infocus dan standar internasional (ISO 9001). Pada kenyataannya, seperti diungkap dosen Universitas Brawijaya Malang, Tri Wahono, hanya empat sekolah berstatus RSBI yang masuk 10 besar terbaik dalam Ujian Nasional.
Pada tahun 2009 lalu, sejumlah kepala sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) mengunjungi Jepang. Murni Ramli, penerjemah sekaligus seorang peneliti pendidikan yang saat itu mendampingi mereka, membuat catatan menarik tentang kunjungan itu ( baca di sini).
Menurut Murni, konsep pendidikan Jepang tak mengenal istilah internasional dan nasional. Bagi pakar pendidikan Jepang, pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak yang pandai saja. Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas yang sama. Karena itu, yang dilakukan Jepang bukan membuat sekolah unggulan, tetapi membangun sekolah-sekolah di seantero negeri dengan fasilitas yang sama yang bisa mendidik anak-anak tanpa ada perbedaan.
Yang paling menarik dari laporan Murni Ramli: sekolah-sekolah di Jepang, yang menghasilkan lulusan hebat bagi bangsa Jepang, justru ruang kelasnya masih berpapan-tuliskan papan tulis kayu, dengan alat tulis kapur, dan tidak dilengkapi dengan OHP. Siswa-siswanya juga tidak bebas mengakses internet dan tidak bebas membawa laptop masing-masing.
Sayang, pemerintah dan sebagian pemerhati pendidikan kita mengabaikan fakta tersebut. Mereka berlomba-lomba mengejar predikat internasional, dengan kebanggaan bisa berbahasa asing, tetapi lupa akan makna kedalaman ilmu dan realitas sosial bangsanya.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/editorial/20130110/diskriminasi-dalam-dunia-pendidikan.html#ixzz2HdFbBOmY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar