Saat bangsa ini berpesta-pora membantai PKI, Pangdam Siliwangi
(Ibrahim Adjie) justru melarang anak buahnya membunuh anggota PKI. Tak
heran jika korban di provinsi Jawa Barat hanya berkisar beberapa belas
orang sedangkan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali konon mencapai
jutaan.
Padahal di tahun 1965, pengaruh Amerika untuk membantai PKI sangatlah
kuat, namun Pangdam Siliwangi berhasil mematahkan pengaruh tersebut.
Pangdam Siliwangi menetralkan pengaruh Amerika dengan hanya menangkap
anggota PKI, bukan membunuhnya. Bahkan putra DN Aidit, Ilham Aidit, yang
berada di Bandung pada tahun 1965, tetap bisa hidup hingga sekarang.
Bahkan Sarwo Edhie Wibowo pernah memeluknya sebagai tanda permintaan
maaf.
Sungguh beruntung nasib Ilham Aidit di Bandung, bandingkan dengan
anak-anak anggota PKI di Jawa Timur menurut pengakuan Gatot Lestario,
tokoh PKI dari Jawa Timur, yang mengatakan “Sadisme dan penyiksaan
tak manusiawi yang tak terperikan, menyertai pembantaian-pembantaian
massal. Keluarga-keluarga secara keseluruhan dihabisi, di mana anak-anak
satu demi satu dibunuh di depan mata orang tuanya hingga akhirnya tiba
giliran sang ayah. Seorang perempuan dibunuh dalam keadaan hamil.
Perempuan-perempuan dengan anak-anak di pinggul mereka dibunuh di
pesisir-pesisir sungai. Ada kompetisi dilakukan dalam pembunuhan, siapa
yang terbaik membelah dalam sekali bacok dari atas ke bawah akan
memperoleh hadiah ekstra (ini terjadi di Singosari). Banyak pembunuhan
terjadi di pesisir-pesisir sungai, agar dengan demikian orang tak perlu
lagi menggali kuburan. Kepala-kepala yang telah dipenggal digantungkan
di pasar-pasar, di depan rumah, di pinggir jalan, beberapa di antaranya
dilabur dengan kapur. Mayat-mayat perempuan dengan bayi susuannya
mengapung di Kali Brantas dan di sungai Bengawan Solo, di Bojonegoro
banjaran mayat-mayat diikat satu menjadi rakit. Pada sebuah jembatan di
lingkungan Babat yang telah berfungsi sebagai rumah potong manusia,
aliran dari gumpalan-gumpalan darah membuktikan betapa banyak orang yang
telah dibunuh di situ. Sejumlah korban dibunuh secara perlahan-lahan,
dengan cara memotong anggota-anggota badannya satu demi satu, yang
lainnya dipaksa terjun ke dalam parit untuk ditanam di situ
hidup-hidup…”
Selama kita tidak pernah menyesali kebiadaban kita di tahun 60-an, kita
takkan pernah berhenti melakukan kekerasan atas nama agama, dan kita tak
pernah sadar bahwa kebijakan penguasa menentukan perkembangan
radikalisme tersebut.
Pengakuan Tentang Gerwani:
Berita
tentang tarian telanjang Gerwani dan penyiksaan terhadap para Jenderal
Pahlawan Revolusi hanya berasal dari dua sumber berita, yaitu Angkatan
Bersenjata dan Berita Yudha. Namun hasil otopsi yang dilaksanakan oleh
Cornell University pada tahun 1987 menunjukkan bahwa penyiksaan itu
tidak ada.
Pada malam 30 September sekitar 70 perempuan, sebagian besar
pemudi-pemudi dari Pemuda Rakyat, selebihnya dari SOBSI dan BTI serta
beberapa lagi dari Gerwani, termasuk juga beberapa istri prajurit
Cakrabirawa dikumpulkan di Lubang Buaya.
Berikut kutipan pengakuan salah seorang istri Cakrabirawa yang pernah hadir di sana:
Beberapa hari sebelum kup saya dijemput untuk melakukan pekerjaan
ekstra di Halim. Ia tidak berterus terang, apa pekerjaan itu. Tapi
seperti biasa, saya mengikutinya saja. Begitu sampai di sana, saya
diminta menjahit pita warna-warni pada pakaian-pakaian seragam, sebagai
pembeda antara kawan dan lawan. Pekerjaan itu banyak sekali, sehingga
kami mengerjakannya sampai larut malam. Karena itu pada pagi hari 1
Oktober saya tidur nyenyak sekali, sampai kami terbangun oleh bunyi
tembakan-tembakan. Di luar masih gelap, dan kami semua menjadi
ketakutan. Kami lari ke lapangan, di sana kami melihat beberapa tentara
menggiring jendral-jendral culikan mereka. Suasananya ramai sekali.
Karena mereka terus-menerus meneriakkan “kabir” pada jendral-jendral
itu. Kata yang biasa saja sebenarnya, karena kami sudah selalu
mengucapkannya. Jendral-jendral itu dipukuli, dan akhirnya mereka
ditembak mati, dan dimasukkan ke dalam sumur. Begitu marah para tentara
itu, sehingga peluru dihamburkan ke tubuh korban, walau pun mereka sudah
mati. Kemudian, dengan ketakutan, baru kami pun pergi ke sumur.
Belakangan mereka menyiarkan cerita-cerita tentang tari-tarian,
perbuatan seks yang tidak normal, memotong kemaluan. Semuanya itu sama
sekali bohong. Jendral-jendral itu sangat ketakutan, sehingga berdiri
saja mereka tidak bisa! Tapi pemudi-pemudi sukarelawan itu juga
ketakutan. Mereka bersembunyi berdesak-desakan di sudut!
Saya tidak tahu harus berbuat apa, sesudah tentara-tentara itu pergi.
Akhirnya beberapa di antara kami pergi ke kantor Gerwani, ada lagi yang
lari pulang dan menyembunyikan seragam mereka. Saya juga melarikan diri,
tapi beberapa minggu kemudian tertangkap, dan disiksa luar biasa. Lima
kali mereka terpaksa membawa saya ke rumah sakit. Dua tahun sesudah itu
sebagian tubuh saya menjadi lumpuh. Tapi saya tidak membuka mulut untuk
mereka. Tidak satu nama pun saya sebut di depan mereka. Sesudah mereka
menyiksa saya yang pertama kali, saya minta mereka lipstik, bedak dan
sikat gigi. Kalau mereka tidak memberinya, saya bilang, saya tidak mau
melihat mereka lagi. Beberapa wanita dan gadis-gadis tahanan itu
mengatakan pengakuan apa saja yang mereka minta. Saya tidak. Itu
sebabnya saya tidak pernah dibawa ke pengadilan. Karena kalau dibawa ke
pengadilan, semua kebohongan mereka akan terbantah. Tapi gadis-gadis itu
memang disiksa luar biasa. Empat di antaranya mereka perkosa. Semuanya
disabeti, botol dimasukkan ke liang vagina dengan kekerasan. Umumnya
kami ditahan empat belas tahun tanpa pernah diadili.
Logo Kabupaten Sukabumi Utara 01
-
[image: logo kabupaten sukabumi utara]
*Logo Kabupaten Sukabumi Utara versi 2*
10 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar