“Kami tidak akan mendirikan bangsa kami di atas Deklarasi Independen Amerika Serikat. Pun tidak dengan Manifesto Komunis. Kami tidak mungkin meminjam falsafah hidup orang lain,” kata Soekarno.
Begitu ia dibuang ke Ende, di Pulau Flores, NTT, Bung Karno makin menyelami falsafah yang cocok untuk Indonesia merdeka itu. Di sanalah, di bawah pohon sukun, ia menemukan lima butir mutiara. Itulah lima dasar yang menjadi pembentuk falsafah Pancasila.
Akhir April 1945, Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, BPUPKI) dibentuk pemerintah Jepang. Soekarno menjadi bagian dari kepanitiaan itu. BPUPKI memulai sidang pertamanya tanggal 29 Mei 1945. Tiga hari pertama persidangan diwarnai debat berkepanjangan.
Soekarno, yang sejak lama sudah menjahit mimpi Indonesia merdeka, segera tampil berpidato pada tanggal 1 Juni 1945. Pidatonya berlangsung selama kurang lebih satu jam. Ia berusaha meyakinkan peserta sidang, yang sebagian besar mewakili berbagai kekuatan politik dan utusan daerah, tentang pentingnya Indonesia merdeka.
Soekarno juga mendesakkan pentingnya “philosophische grondslag” (filosofi dasar) untuk Indonesia merdeka. Filosofi dasar inilah yang akan menjadi “Weltanschauung” (pandangan hidup) bangsa Indonesia mencapai cita-citanya. Soekarno pun mengajukan lima dasar filosofis: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme, – atau perikemanusiaan, Mufakat, – atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itulah Pancasila!
Konteks Pancasila
Pancasila dilahirkan oleh sebuah momen historis, yakni Revolusi Nasional bangsa Indonesia. Tanpa memahami konteks historis ini, niscaya kita akan kebingungan meletakkan Pancasila dan konteks Indonesia sebagai sebuah bangsa yang sedang bergerak mencapai tujuan.
Dalam konteks inilah, Airlangga Pribadi, seorang pengajar di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, menganggap Pancasila sebagai bagian dari proses interupsi total dari rezim pengetahuan dominan yang menjadi suprastruktur dari basis material imperialisme kolonial.
Menurutnya, Pancasila harus dipahami sebagai “momen kebenaran”, yaitu proses menginterogasi segenap peristiwa-peristiwa yang merangkai kelahiran Pancasila dan sekaligus menegaskan bahwa peristiwa tersebut adalah kelahiran penanda awal dari Pancasila sebagai ideologi dan haluan RI untuk membedakannya dari penanda sebelumnya, yakni era Imperialisme Kolonial.
“Dengan cara itu, kita bisa menolak berbagai tafsir-tafsir tentang Pancasila baik yang diproduksi oleh pendukung kekuatan lama Orde Baru Soeharto maupun penelikungan Pancasila oleh antek-antek neoliberalisme,” katanya.
Berakar dari Bumi Indonesia
Soekarno, seperti juga Lenin dengan Marxisme-nya, Sun Yat Sen dengan San Min Chu I-nya, berusaha menggali sebuah ideologi bangsa yang cocok dengan realitas dan kepribadian bangsa Indonesia.
Ketemulah ia dengan lima prinsip dalam Pancasila itu. Yang jika disederhanakan, sering disebut Tri-Sila, menjadi tiga gagasan besar: Sosio-nasionalisme (penggabungan sila ke-2 dan ke-3) dan Sosio-demokrasi (penggabungan sila ke-4 dan ke-5), dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Itupun bisa disederhanakan menjadi eka-sila: Gotong Royong!
DN Aidit, yang di era Bung Karno menjabat Wakil Ketua MPRS, menyebut Pancasila sangat objektif dan ilmiah. Sebab, Pancasila bertolak dari kenyataan atau realitas Indonesia. Ini sejalan dengan fikiran bung Karno, juga Bung Hatta, bahwa lima dasar dalam Pancasila sudah hidup dan mentradisi dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu.
Sementara itu, Retor AW Kaligis, seorang doktor sosiologi di Universitas Indonesia, juga mengakui Pancasila sebagai hasil penggalian nilai-nilai Nusantara yang sudah hidup berabad-abad lalu. “Sebelum ajaran sosialisme dari Barat masuk, karakteristik sosialisme sudah ada di sini. Ketika zaman feodal tanah-tanah di Eropa dikavling para baron (tuan tanah), tanah komunal menghidupi rakyat kecil di sini.Pada zaman Majapahit, kepemilikan pertanian yang besar ditolak dengan melindungi hak pakai para petani. Hak-hak adat atas tanah juga tumbuh di berbagai suku dan kerajaan,” katanya.
“Kita bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dalam sejarah dunia yang tidak pernah menjajah bangsa lain. Itulah perikemanusiaan melekat dalam jiwa bangsa Indonesia,” kata Soekarno.
Demikian pula kedaulatan rakyat atau demokrasi, yang oleh Bung Karno dikatakan “bukan barang baru” bagi bangsa Indonesia. Masyarakat di Minangkabau, seperti dicatat Tan Malaka dalam karya “Aksi Massa”, sudah mempraktekkan mufakat alias demokrasi.
“Pemerintahan oleh adat diserahkan kepada wakil-wakil rakyat para penghulu, yakni datuk-datuk. Mereka mesti memerintah menurut undang-undang tertentu. Kekuasaan tertinggi bernama ‘mufakat’ yang diperoleh dari perundangan dalam satu rapat,” tulis Tan Malaka dalam karya “Aksi Massa”, 1926.
Bangsa Indonesi juga sudah kental dengan cita-cita keadilan sosial. Bung Karno mencontohkan, sejak dulu semboyan “Ratu Adil” sudah ada di kalangan rakyat Indonesia. Juga slogan “Sama Rata, Sama Rasa”.
Pantas saja, Soekarno tidak mau disebut penemu Pancasila, melainkan sebagai “penggali Pancasila”. Sebab, Pancasila itu sudah hadir dalam tradisi dan menjadi harta-karun berharga bangsa Indonesia.
Anti-kolonialisme dan anti-imperialisme
Karena Pancasila lahir dari konteks “masyarakat yang ingin keluar dari belenggu penjajahan”, maka jiwa dan cita-cita Pancasila sangatlah anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Meski demikian, seperti disinggung Bung Karno dalam penutup pidato 1 Juni 1945, indonesia keluar dari alam penjajahan itu punya tujuan yang hendak dicapai: membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan, untuk permufakatan, untuk sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial): untuk Ketuhanan.
Yang jelas, kata Airlangga Pribadi, para pendiri bangsa ingin memperjuangkan sebuah Republik yang lepas dari jeratan tidak saja imperialisme kolonial tetapi juga sistem ekonomi kapitalisme dan politik liberalistik.
Airlangga mencontohkan, di dalam pidato Pancasila tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menekankan bahwa demokrasi yang dicari bukanlah demokrasi barat—yang hanya menghadirkan kebebasan politik semata, melainkan sebuah “politiek economicshe democratie”, yakni sebuah tatanan politik yang mensyaratkan keterlibatan penuh rakyat dalam pengambilan keputusan berbasis musyawarah dan sekaligus mendemokratiskan tatanan ekonomi dari proses penghisapan dan eksploitasi.
DN Aidit, yang di tahun 1960-an partainya makin merapat ke Bung Karno sebagai poros anti-imperialis, berusaha menangkap hal-hal yang melandasi kelahiran dan tujuan Pancasila itu. Materi kuliah Aidit di hadapan kader Front Nasional, “Revolusi Indonesia, Latar Belakang dan Hari Depannya”, menyimpulkan bahwa Pancasila Bung Karno berlandaskan pada lima hal: (1) bagi negara merdeka, artinya anti-kolonialisme; (2) bagi negara kebangsaan, artinya pemersatu seluruh kekuatan nasional; (3) anti terhadap sistem demokrasi borjuis; (4) bercita-cita sosialisme, dan (5) mempersatukan rakyat dengan tidak membeda-bedakan kepercayaan agamanya.
Sebagai dasar negara dan pemersatu
Dalam tulisan menyambut peringatan Lahirnya Pancasila 1 Juni 1964, “Tjamkan Pantja Sila ! Pancasila dasar falsafah negara”, Soekarno memberi tiga pengertian pokok Pancasila: (1) Pancasila sebagai pemerasan kesatuan jiwa bangsa Indonesia; (2) Pancasila sebagai manifestasi persatuan bangsa dan wilayah Indonesia; (3) Pancasila sebagai “Weltanschauung” bangsa Indonesia dalam penghidupan nasional dan internasional.
Di situ, Soekarno juga sangat jelas mengatakan, “Pancasila sebagai satu-satunya ideologi nasional progressif dalam revolusi Indonesia.” Artinya, dalam kerangka revolusi itu, Pancasila punya dua peran pokok: pertama, sebagai dasar yang mempersatukan bangsa Indonesia; Kedua, sebagai dasar yang memberi arah kepada perikehidupan, termasuk jalannya revolusi Indonesia.
Untuk yang pertama, pancasila merupakan ideologi atau filsafat yang tidak saja mempersatukan berbagai komponen bangsa Indonesia (suku, agama, golongan, dan lain-lain), tetapi juga mempersatukan berbagai aliran dan pemikiran politik dalam kerangka menuntaskan revolusi nasional bangsa Indonesia.
Dengan demikian, seperti ditekankan Soekarno, Pancasila mengakui keberadaan bermacam-macam agama, suku bangsa, filsafat, dan aliran politik dalam kehidupan rakyat Indonesia. Jadi, tidak seperti Orde baru: memaksakan Pancasila sebagai satu-satunya filsafat.
“Yang saya impi-impikan adalah kerukunan pancasilais-manipolis dari segala suku-bangsa, segala agama, segala aliran politik, dan segala kepercayaan,” kata Soekarno (Tavip, hal.42).
Kemudian, yang kedua, yakni pancasila sebagai pemberi arah kepada bangsa Indonesia, dalam segala lapangan kehidupan, dalam rangka mencapai tujuan akhirnya: masyarakat adil dan makmur.
Bagi Soekarno, supaya perjuangan bangsa Indonesia tidak melenceng dari tujuan, maka kehidupan berbangsa harus diberi “pandangan hidup”. Ia harus menjadi leitstar, bintang penuntun arah, bagi perjuangan bangsa Indonesia.
Ini mirip dengan ungkapan Eva Kusuma Sundari, politisi PDI Perjuangan, bahwa Pancasila itu seperti kompas dalam perjalanan bangsa. “Jika pancasila diabaikan, maka limbunglah perjalanan bangsa kita,” katanya.
Supaya leitstar itu bisa menggerakkan massa, kata Soekarno, maka ia harus betul-betul menyentuh dan menghikmati jiwa. Dengan demikian, pancasila sebagai pandangan hidup harus bermakna “dijiwai” oleh rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar