Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang
paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat
seorang penolongpun bagi mereka. (QS. An-Nisaa: 145)
DISEBUTKAN
dalam sebuah hadits shahih bahwa ciri-ciri orang munafik ada tiga:
pertama, apabila ia berbicara ia berdusta; kedua, apabila ia berjanji ia
mengingkari; ketiga, apabila diberi amanah ia berkhianat. (HR. Muslim)
Dari
hadits tersebut dapat dilihat bahwa janji bukanlah perkara biasa. Meski
demikian, kenyataannya janji sering muncul sebatas ucapan, yang begitu
saja mudah dilupakan, seolah tiada bekas sama sekali. Padahal, kedudukan
janji sangat tinggi pertanggungjawabannya di sisi Allah. Dalam hadits
riwayat Muslim sendiri, orang-orang yang senang mengingkari janji
dikategorikan sebagai orang-orang munafik. Selain itu, Al-Quran pun
mensinyalirnya sebagai berikut, Orang-orang munafik mengatakan dengan
mulutnya apa yang tidak ada terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih
mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (QS. Ali Imran: 167).
Betapa
banyak wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada umat-Nya mengingatkan
tentang bahaya orang-orang munafik dan balasan yang akan diterimanya,
baik pada kehidupan dunia maupun akhirat. Salah satunya dapat kita petik
dari surat An-Nisaa ayat 138 yang mengabarkan siksaan yang amat pedih
bagi orang-orang munafik.
Hidup manusia tidak pernah luput dari
selimut janji. Sejak ruh manusia ditiupkan, manusia telah berjanji
kepada Rabb-Nya, kepada Rasul-Nya dan atas konsekuensi dien-nya. Sebuah
ucapan kalimat sakti dari setiap hamba sebagai bentuk janji, ikrar diri
tentang keesaan Tuhannya.
Kemudian, seorang anak manusia lahir ke
dunia. Dalam perkembangannya, manusia akan hidup dalam lingkungan
keluarga, menjalankan fungsinya sebagai bagian dari masyarakat,
mengemban peran-peran. Di situlah manusia mulai akrab dengan istilah
yang disebut janji. Di situ pula kesetiaan seseorang pada ucapannya
diuji.
Ucapan menuntut sebuah pembuktian. Pembuktian tentang
jaminan kesejahteraan, dan peningkatan kesejahteraan hidup, dan yang
lain. Mungkin juga pembuktian atas janji pada diri, keluarga, anak,
istri, untuk melakukan perbaikan.
Lisan memang menjadi godaan
yang berat. Bukankah semua hal yang kita ucapkan atau bahkan hanya kita
simpan dalam hati, akan dipinta pertanggungjawaban oleh Allah?
Tidak
dipungkiri, hati kecil sendiri sering berontak dengan
pengingkaran-pengingkaran yang kita perbuat. Tapi entah, manusia lebih
suka dengan dalih. Ya, segala macam alasan sering terlontar sebagai
bentuk pertahanan dari kekerdilan jiwa yang ringkih. Sebagai bentuk
pembenaran dari peningkatan yang dibuat sendiri. Kebohongan yang
kesekian kali untuk pembenaran diri sendiri. Karena begitu seringnya
terjadi atau kita dengar dalam lingkungan hidup kita, tak heran
bualan-bualan janji akhirnya berkembang menjadi budaya. Budaya buruk
yang terpelihara.
Dalam tatanan sosial, sanksi yang diterima oleh
orang-orang yang mengumbar janji, antara lain jatuhnya harga diri
seseorang. Kepada orang-orang yang sering berjanji dan sering pula
mengingkari, ia tidak akan dipercaya lagi dalam lingkungannya. Apapun
yang diucapkan akan dianggap angin lalu yang tidak berguna sekalipun itu
sangat penting. Inilah konsekuensi berat yang harus diterima bagi
orang-orang yang senang "obral" janji. Orang yang senang mempermainkan
janji juga akan tersisih dari lingkungannya.
Lalu, apa yang akan
diterima baginya sebagai balasan di akhirat nanti? Dikatakan dalam surat
An-Nisaa ayat 145, Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan)
pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak
akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.
Ya, Allah lindungilah
kami, hamba-Mu ini dari sifat ingkar janji. Semoga kita terpelihara
dari sifat-sifat orang munafik, sifat yang suka mengumbar janji tanpa
peduli untuk menepati. Wallahu a'lam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar