Kamis, 10 Januari 2013

Gaya Hidup Pejabat Negara




karikatur (Indopos)
Anda tahu harga jam tangan Ruhut Sitompul? Katanya, politisi partai Demokrat ini menggunakan jam tangan berharga Rp 450 juta. Sedangkan Anis Matta, yang juga salah satu pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengenakan jam tangan seharga Rp 70 juta.
Itu baru harga jam tangan. Coba tengok harga mobil para pejabat negara itu. Konon, ada tiga anggota DPR yang punya mobil seharga Rp 7 milyar. Sementara harga mobil rata-rata pejabat menteri berkisar antara Rp 400 juta hingga 1,325 miliar. Bagaimana dengan harga rumah dan kekayaan lainnya?
Nah, bagaimana dengan gaji Presiden? Berdasarkan peringkat gaji presiden tertinggi di dunia, gaji Presiden SBY menempati peringkat ke-16. Ia berada di atas peringkat gaji Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang memimpin negeri yang jauh lebih maju dan lebih makmur dibanding Indonesia.
Gaji Presiden SBY mencapai US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun. Gaji itu setara dengan 28 kali lipat dari pendapatan per kapita Indonesia. Bahkan, jika dikaitkan dengan PDB per-kapita masing-masing negara, gaji Presiden SBY tercatat di peringkat ketiga di dunia. Gaji Pesiden SBY mencapai 28 kali PDB per-kapita.
Lebih tragis lagi, menurut Anis Matta, dirinya membeli arloji seharga Rp70 juta sebagai aksesoris untuk ‘memantaskan’ dirinya sebagai pejabat publik. Artinya, di mata Anis Matta, standar seorang pejabat publik harus punya, diantaranya, jam tangan paling murah Rp70 juta.
Apakah harus begitu? Bung Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, mengatakan, seorang pemimpin haruslah mengambil beban yang lebih berat; ia harus tahan sakit dan tahan terhadap cobaan; ia juga tidak boleh berubah hanya karena kesusahan hidup. “Keteguhan hati dan keteguhan iman adalah conditio sine qua non (syarat yang utama) untuk menjadi pemimpin,” kata Bung Hatta.
Dengan demikian, di mata Hatta, seorang pejabat negara atau pemimpin tidak boleh punya gaya hidup mewah. Sebab, gaya hidup mewah akan menuntut biaya hidup yang tiggi pula. Tentunya, hal itu akan memaksa si pejabat akan menggunakan segala macam cara untuk membiayai gaya-hidupnya itu.
Hatta sendiri adalah seorang sosok pemimpin sederhana. Ia melamar istrinya dengan sebuah mas kawin berupa buku karyanya sendiri. Ia juga harus menabung bertahun-tahun untuk memenuhi keinginannnya membeli sepatu. Konon, Hatta pernah negosiasi panjang dengan kusir bendi soal tariff. Akan tetapi, karena tidak terjadi titik temu, Hatta pun memilih jalan kaki.
Bung Karno juga begitu. Semasa hidupnya, sebagaian besar pakaian kebanggaan Bung Karno dijahit dan dipermak sendiri. Salah satu seragam kebesaran Bung Karno adalah pakaian bekas militer wanita Australia.
Orang bisa mengatakan jaman sudah berubah. Apakah bisa begitu? Tidak juga. Buktinya, Fidel Castro, Presiden Kuba, hanya menerima gaji sebesar 900 peso atau kira-kira 36$ per bulan. Atau, mari kita dengar cerita tentang Ahmadinejad. Konon, Presiden paling dibenci oleh AS ini tidak menerima gajinya. Ketika ia pertama kali menempati jabatan Presiden, ia memerintahkan menggulung karpet antik peninggalan Persia untuk dimuseumkan. Ia juga menolak kursi VIP di pesawat kepresidenan. Bahkan ia memilih tinggal di rumahnya yang sederhana.
Kenapa bisa berbeda begitu? Ini menyangkut beberapa hal. Pertama, ini adalah soal mendefenisikan kekuasaan. Di jaman Bung Karno dan Bung Hatta, kekuasaan dianggap sebagai sarana untuk memperjuangkan masyarakat adil dan makmur. Sedangkan sekarang, kekuasaan dijadikan sarana untuk memperkaya diri sendiri. Kedua, politisi di jaman Bung Karno dibimbing oleh sebuah ideologi atau keyakinan politik. Sedangkan pejabat publik sekarang berjalan tanpa ideologi dan tanpa keberpihakan kepada rakyat. Ketiga, sistim politik kita makin terkomoditifikasi dan jabatan politik tak ubahnya barang dagangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya