Kamis, 10 Januari 2013

Menggali Pancasila

garuda-1
66 tahun yang lalu, hanya dua bulan sebelum kelahiran Republik baru bernama Indonesia, Bung Karno membacakan pidato bersejarah di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pidato itulah yang kemudian dikenang sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pada saat itu, Bung Karno berbicara tentang Pancasila sebagai philosofische Grondslag, yaitu sebuah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa-hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal-abadi.
Di situ, dengan terang sekali, dikatakan bahwa ada lima prinsip yang mendasari Indonesia merdeka, nantinya, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lima prinsip inilah yang ditetapkan Bung Karno sebagai azas atau dasar mendirikan negara Indonesia merdeka.
Lalu, pada tahun lalu, ketika pemerintah memperingati Hari Lahirnya Pancasila di gedung MPR/DPR/DPD RI, Presiden SBY juga menyampaikan pidato tentang Pancasila ini. Dalam pidato itu, SBY berusaha menyimpulkan Pancasila sebagai living ideology, sebagai working ideology, yang antisipatif, yang adaptif, dan yang responsif.
Dari situ, Kita seolah-olah menemukan keinginan kuat Presiden SBY untuk menempatkan pancasila pada konteks jamannya, yaitu sebuah dasar atau azas bernegara yang turut menyesuaikan diri sesuai perubahan jaman. Pendek kata, bagi SBY, Pancasila adalah ideologi yang eklektis dan fleksibel; pancasila akan menyesuaikan diri dengan lingkungan zaman.
Jadi, kalau mengacu kepada pendapatnya SBY, jika lingkungan jamannya adalah neoliberalisme, maka Pancasila juga akan menjadi berkecendenrungan neoliberal; kalau dunia sedang dikuasai oleh ideologi yang mengutamakan profit semata, maka pancasila pun harus menyesuaikan diri dengan hal semacam itu.
Pendek kata lagi, SBY sederhananya mau bilang begini: Saya ini seorang neoliberalis, pengikut setia pada privatisasi dan perdagangan bebas. Ini saya lakukan karena kecenderungan rejim ekonomi global juga begitu. Tapi, saya tetap seorang Pancasilais.
Lima azas atau prinsip dalam pancasila, jika ditelaah dengan seksama dan sebenar-benarnya, maka kesemuanya akan menentang atau bertentangan dengan neoliberalisme. Jika pancasila menomor-satukan kebangsaan Indonesia, maka neoliberalisme hendak membunuh perasaan kebangsaan itu dimana saja; jika pancasila berdasarkan kemanusiaan dan internasionalisme, maka neoliberalisme adalah pemujaan pada logika profit dan ketidaksetaraan global; jika pancasila mengutamakan mufakat dan demokrasi, maka neoliberalisme mengutamakan demokrasi liberal atau demokrasi bagi para pemilik uang; jika Pancasila berdasarkan pada kesejahteraan sosial, maka neoliberalisme adalah kemakmuran bagi segelintir orang di satu sisi dan pemiskinan mayoritas rakyat pada sisi lain.
Sejak orde baru berkuasa hingga sekarang ini, Pancasila telah dibuat sebagai ideologi pajangan saja, tetapi praktek dan pengamalannya tidak pernah terjadi. Di masa orde baru, Pancasila telah direduksi sedemikian rupa dan kemudian menjadi sekian butir-butir sifat yang harus dihafal di sekolah-sekolah. Sekarang ini, pendidikan Pancasila sudah menghilang sebagai mata pelajaran tersendiri dan disub-kan dengan mata pelajaran lain. Kalaupun Pancasila masih diangggap ada, maka itu tidak lebih dari sebatas sebuah burung garuda yang masih bertengger di dinding-dinding kantor pemerintahan.
Dulu, Ignas Kleden, seorang intelektual Indnesia terkemuka, pernah mengatakan bahwa ada dua hal yang hingga saat ini masih mempersatukan Indonesia sebagai bangsa dan negara, yaitu: Pancasila dan Bahasa Indonesia.
Ignas Kleden ada benarnya. Terlepas dari begitu banyaknya pendistorsian terhadap Pancasila itu sendiri, tetapi pancasila tetap menjadi perisai paling ampuh bangsa Indonesia untuk mempertahankan negara kesatuan dari niat-niat mendirikan negara agama, konflik etnis, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, Pancasila bukan sekedar untuk menjaga persatuan, tetapi—sebagaimana dikatakan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945—sebagai “Weltanschauung”-nya Indonesia merdeka. Jadi, lima prinsip atau azas itulah yang akan menjadi dasar atau azas bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasionalnya: Menghapuskan penindasan manusia atas manusia (exploitation de I’Homme par I’Homme) dan penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya