Kamis, 10 Januari 2013

Sejarah Kodam Siliwangi: Benteng Radikalisme dan Tekanan Asing

Saat bangsa ini berpesta-pora membantai PKI, Pangdam Siliwangi (Ibrahim Adjie) justru melarang anak buahnya membunuh anggota PKI. Tak heran jika korban di provinsi Jawa Barat hanya berkisar beberapa belas orang sedangkan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali konon mencapai jutaan.
Padahal di tahun 1965, pengaruh Amerika untuk membantai PKI sangatlah kuat, namun Pangdam Siliwangi berhasil mematahkan pengaruh tersebut. Pangdam Siliwangi menetralkan pengaruh Amerika dengan hanya menangkap anggota PKI, bukan membunuhnya. Bahkan putra DN Aidit, Ilham Aidit, yang berada di Bandung pada tahun 1965,  tetap bisa hidup hingga sekarang. Bahkan Sarwo Edhie Wibowo pernah memeluknya sebagai tanda permintaan maaf.
Sungguh  beruntung nasib Ilham Aidit di Bandung, bandingkan dengan anak-anak anggota PKI di Jawa Timur menurut pengakuan Gatot Lestario, tokoh PKI dari Jawa Timur, yang mengatakan “Sadisme dan penyiksaan tak manusiawi yang tak terperikan, menyertai pembantaian-pembantaian massal. Keluarga-keluarga secara keseluruhan dihabisi, di mana anak-anak satu demi satu dibunuh di depan mata orang tuanya hingga akhirnya tiba giliran sang ayah. Seorang perempuan dibunuh dalam keadaan hamil. Perempuan-perempuan dengan anak-anak di pinggul mereka dibunuh di pesisir-pesisir sungai. Ada kompetisi dilakukan dalam pembunuhan, siapa yang terbaik membelah dalam sekali bacok dari atas ke bawah akan memperoleh hadiah ekstra (ini terjadi di Singosari). Banyak pembunuhan terjadi di pesisir-pesisir sungai, agar dengan demikian orang tak perlu lagi menggali kuburan. Kepala-kepala yang telah dipenggal digantungkan di pasar-pasar, di depan rumah, di pinggir jalan, beberapa di antaranya dilabur dengan kapur. Mayat-mayat perempuan dengan bayi susuannya mengapung di Kali Brantas dan di sungai Bengawan Solo, di Bojonegoro banjaran mayat-mayat diikat satu menjadi rakit. Pada sebuah jembatan di lingkungan Babat yang telah berfungsi sebagai rumah potong manusia, aliran dari gumpalan-gumpalan darah membuktikan betapa banyak orang yang telah dibunuh di situ. Sejumlah korban dibunuh secara perlahan-lahan, dengan cara memotong anggota-anggota badannya satu demi satu, yang lainnya dipaksa terjun ke dalam parit untuk ditanam di situ hidup-hidup…”
Selama kita tidak pernah menyesali kebiadaban kita di tahun 60-an, kita takkan pernah berhenti melakukan kekerasan atas nama agama, dan kita tak pernah sadar bahwa kebijakan penguasa menentukan perkembangan radikalisme tersebut.
Pengakuan Tentang Gerwani:
Berita tentang tarian telanjang Gerwani dan penyiksaan terhadap para Jenderal Pahlawan Revolusi hanya berasal dari dua sumber berita, yaitu Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Namun hasil otopsi yang dilaksanakan oleh Cornell University pada tahun 1987 menunjukkan bahwa penyiksaan itu tidak ada.
Pada malam 30 September sekitar 70 perempuan, sebagian besar pemudi-pemudi dari Pemuda Rakyat, selebihnya dari SOBSI dan BTI serta beberapa lagi dari Gerwani, termasuk juga beberapa istri prajurit Cakrabirawa dikumpulkan di Lubang Buaya.
Berikut kutipan pengakuan salah seorang istri Cakrabirawa yang pernah hadir di sana:
Beberapa hari sebelum kup saya dijemput untuk melakukan pekerjaan ekstra di Halim. Ia tidak berterus terang, apa pekerjaan itu. Tapi seperti biasa, saya mengikutinya saja. Begitu sampai di sana, saya diminta menjahit pita warna-warni pada pakaian-pakaian seragam, sebagai pembeda antara kawan dan lawan. Pekerjaan itu banyak sekali, sehingga kami mengerjakannya sampai larut malam. Karena itu pada pagi hari 1 Oktober saya tidur nyenyak sekali, sampai kami terbangun oleh bunyi tembakan-tembakan. Di luar masih gelap, dan kami semua menjadi ketakutan. Kami lari ke lapangan, di sana kami melihat beberapa tentara menggiring jendral-jendral culikan mereka. Suasananya ramai sekali. Karena mereka terus-menerus meneriakkan “kabir” pada jendral-jendral itu. Kata yang biasa saja sebenarnya, karena kami sudah selalu mengucapkannya. Jendral-jendral itu dipukuli, dan akhirnya mereka ditembak mati, dan dimasukkan ke dalam sumur. Begitu marah para tentara itu, sehingga peluru dihamburkan ke tubuh korban, walau pun mereka sudah mati. Kemudian, dengan ketakutan, baru kami pun pergi ke sumur.
Belakangan mereka menyiarkan cerita-cerita tentang tari-tarian, perbuatan seks yang tidak normal, memotong kemaluan. Semuanya itu sama sekali bohong. Jendral-jendral itu sangat ketakutan, sehingga berdiri saja mereka tidak bisa! Tapi pemudi-pemudi sukarelawan itu juga ketakutan. Mereka bersembunyi berdesak-desakan di sudut!
Saya tidak tahu harus berbuat apa, sesudah tentara-tentara itu pergi. Akhirnya beberapa di antara kami pergi ke kantor Gerwani, ada lagi yang lari pulang dan menyembunyikan seragam mereka. Saya juga melarikan diri, tapi beberapa minggu kemudian tertangkap, dan disiksa luar biasa. Lima kali mereka terpaksa membawa saya ke rumah sakit. Dua tahun sesudah itu sebagian tubuh saya menjadi lumpuh. Tapi saya tidak membuka mulut untuk mereka. Tidak satu nama pun saya sebut di depan mereka. Sesudah mereka menyiksa saya yang pertama kali, saya minta mereka lipstik, bedak dan sikat gigi. Kalau mereka tidak memberinya, saya bilang, saya tidak mau melihat mereka lagi. Beberapa wanita dan gadis-gadis tahanan itu mengatakan pengakuan apa saja yang mereka minta. Saya tidak. Itu sebabnya saya tidak pernah dibawa ke pengadilan. Karena kalau dibawa ke pengadilan, semua kebohongan mereka akan terbantah. Tapi gadis-gadis itu memang disiksa luar biasa. Empat di antaranya mereka perkosa. Semuanya disabeti, botol dimasukkan ke liang vagina dengan kekerasan. Umumnya kami ditahan empat belas tahun tanpa pernah diadili.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya